Perkampungan Katu. Doc. YTM 2017 "Setiap hari kami menghabiskan waktu di hutan. Bagi kami, hutan bukan sekedar memberi nafkah, tetapi juga rumah dan tempat kami bermain." (Nua, seorang petani Katu) Petani Katu kaget ketika Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XVI Palu mematok hampir seluruh kawasan hutan Katu. Padahal, mereka telah mengelolanya sejak beratus-ratus tahun lalu. BPKH Wilayah XVI Palu menetapkan wilayah tradisional Katu seluas 30 ribu hektare (ha) menjadi kawasan hutan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Para petani Katu hanya boleh mengelola tanah seluas 697,73 ha. Hal itu telah ditetapkan dalam peta Kerja Pemancangan Batas Sementara Kawasan Hutan TNLL di wilayah Kecamatan Lore Utara, Lore Tengah, Lore Peore dan Lore Barat. “Saya termasuk yang dibayar lima puluh ribu untuk menemani petugas BPKH memasang patok. Kami mau pigi (pergi), karena BPKH bilang akan memasang di tempat yang telah ditunjuk Pak Kades. Saya kira pemancangan tata batas itu akan dilakukan jauh dari lahan perkebunan kami. Setelah di lapangan, ternyata yang dipatok hanya di dalam kebun-kebun warga. Dari situ, kami protes dan kami minta untuk kembali menghadap kepala desa sebelum melanjutkan pematokan,” kata Angke Angke (46) sendiri kaget ketika petugas BPKH menunjuk titik pemancangan tata batas di dalam kebunnya sendiri. Tata batas Taman Nasional Lore Lindu di dalam kebun kakako milik petani Katu. Doc. YTM 2017 Saat itu, ia bersama dua orang rekannya memasang beberapa patok sesuai arahan petugas BPKH.
Namun, karena pemancangan tata batas itu tak sesuai dengan kesepakatan, ia pun meminta petugas untuk menghentikan pemasangan tata batas TNLL. “Saya tidak mau melanjutkan pemancangan itu. Saya minta kepada petugas untuk menghadap kepada kepala desa, karena yang kami patok adalah kebun-kebun kami sendiri. Saya tidak ingin ada konflik dengan masyarakat,” kata Angke Setelah berdialog dengan Kepala Desa Katu, Ferdinan Lumeno. Pemancangan tata batas sementara kawasan TNLL di Desa Katu, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, akhirnya dihentikan. Ferdinan menghentikan pemasangan tata batas sementara, karena tidak sesuai dengan kesepakatan saat petugas BPKH Wilayah XVI Palu memintanya menandatangani surat berita acara tata batas sementara. Ia lalu menyuruh petugas BPKH Wilayah XVI Palu untuk pulang membawa surat berita acara penolakan petani Katu kepada kepala balai. Pada tanggal 14 April 2017, para petani Katu berkumpul di balai desa. Mereka menginventarisasi kembali sejumlah dokumen dan peta pengelolaan serta pemanfaatan Desa Katu. Para petani Katu juga mulai merumuskan strategi perjuangan agar negara tak membatasi ruang gerak mereka untuk bertani. Petani Katu saat berdialog dengan pihak BPKH Wilayah XVI Palu dan Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu. Doc. YTM 2017 Ferdinan mengatakan pemancangan tata batas itu berpotensi mempersempit ruang gerak petani. “Tentu kegiatan pemancangan tata batas ini akan memagari kami menanam kakao, kopi, palawija, padi ladang dan padi sawah. Saya menghargai aturan pemerintah sejauh itu berdampak untuk kesejahteraan. Tetapi kalau itu mengambil tanah rakyat, saya sendiri akan tentang,” tegas Ferdinan Para petani Katu sadar bahwa penolakan pemancangan tata batas itu bertentangan dengan keputusan Menteri Kehutanan yang dituangkan melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.6/Menhut-II/2010 dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004. Namun, mereka juga punya argumentasi penolakan yang patut dipertimbangkan.
Bayak petani Katu beranggapan bahwa penetapan kawasan TNLL dilakukan secara ilegal. “Tiba-tiba ada peta seluas 697,73 ha, katanya ini boleh kami kelola. Di luar itu, kami tak boleh kelola,” kata Ferdinan. Ia menjelaskan bahwa wilayah administrasi Desa Katu itu seluas 5.461,3 ha. Wilayah ini belum termasuk areal pemanfaatan petani Katu mengambil getah damar dan rotan. Menurutnya, Katu memiliki zonasi pengelolaan dan pemanfaatan. Ada zona yang tak dapat dikelola petani. Misalnya, sumber mata air, pinggiran sungai dan wilayah yang dianggap rawan longsor. Ia menyesalkan klaim TNLL yang mengambil 90 persen kawasan tradisional petani Katu. ‘‘Kami ini dianggap apa? Dulu mereka mau memindahkan kami dari sini. Sekarang mereka mengambil sebagian besar tanah kami. Sebetulnya negara ini melindungi hutan atau rakyatnya? Setiap pemilu presiden, kepala daerah hingga legislatif, kami selalu berpartisipasi. Sekarang kami dianggap sampah yang tidak punya arti apa-apa. Mereka seenaknya menetapkan kebijakan tanpa melihat kondisi masyarakat. Mereka tidak tahu masyarakat Katu bisa makan atau tidak, mereka tidak peduli. Masyarakat saya juga selalu tepat waktu membayar pajak kepada pemerintah. Kenapa mereka seenaknya?”ungkap Ferdinan dengan kesal. Pengusikan Petani Katu Pengusikan petani Katu telah berlangsung sejak 1918. Saat itu, pemerintah Belanda melancarkan penguasaan teritorial di dataran tinggi Poso. Petani Katu adalah salah satu yang menjadi korban Belanda. Mereka beberapa kali dipindah ke lembah behoa (satu komunitas yang menghuni dataran tinggi Poso) yang memperkenalkan mereka dengan pertanian modern. Setelah kolonial Belanda hengkang, Jepang masuk dan menguasai seluruh wilayah yang dulu dikuasai Belanda. Kehadiran Jepang juga menyisakan cerita kekejaman seperti kerja paksa dan penyiksaan.
- Torae (104), seorang tokoh kunci perjuangan Katu mengatakan, sejak masa kolonial, petani Katu tak pernah bisa hidup tenang. Mereka memiliki sejarah pelik. Bahkan petani Katu pernah mengalami kelaparan hingga penyakit yang membuat banyak anggota keluarga mereka meninggal dunia.
Pengusikan terhadap orang Katu tak pernah selesai. Meski telah bebas dari belenggu Belanda dan penjajah Jepang, petani Katu beberapa kali pindah karena pergolakan Permesta. Saat memasuki Orde Baru, sejumlah program pembangunan memaksa orang Katu pindah ke Desa Baleura, namun petani Katu menolak. Tak lama setelah itu, mereka kembali diusulkan keluar tujuh kilometer dari Katu. Berkat perjuangan mereka, pemerintah pun tak berhasil memindahkan petani Katu. Sepanjang periode ini, petani Katu benar-benar tak bisa tidur nyenyak. “Banyak penduduk kami saat itu akhirnya memilih pindah dari Katu karena takut dan ingin hidup tenang. Namun tidak sedikit pula dari kami yang tetap bertahan meskipun ancaman dari negara menghantui hidup kami,” kata Torae. Dia berpesan kepada generasi baru untuk tidak pernah gentar memperjuangkan tanah yang telah turun-temurun diwariskan oleh leluhur petani Katu. Sebab, tanah menurutnya adalah kehidupan yang harus dijaga dan dipertahankan. Pesan inilah yang membuat petani Katu terus bersemangat dalam perjuangan mempertahankan tanah leluhur mereka dari pengusikan TNLL. Menurut Ali Pantoli, Ketua Lembaga Adat Katu, hutan adalah sumber kehidupan bagi petani Katu untuk hidup. Itulah sebabnya, hutan tak dapat dipisahkan dari kehidupan petani Katu. Oleh karenanya, petani Katu tak akan pernah mau memberikan tanah leluhurnya kepada TNLL.
Petani Katu Kembai Memulai Perjuangan “Kami ini hidup dari tanah. Kami bekerja karena ada tanah dan karena itulah kami bisa hidup sampai sekarang,” kata Nua. Meski telah banyak pejuang Katu yang meninggal dunia, warisan perjuangan mereka tak pernah hilang. Bibit-bibit perjuangan itu tumbuh ketika para petani tak mendapatkan pilihan lain, selain mempertahankan tanah mereka. “Dulu hanyalah awal perjuangan Katu, karena hasil dari perjuangan itu hanya melahirkan selembar pengakuan dari Kepala Balai Besar TNLL, Banjar Yulianto Laban. Saat ini, pengakuan itu mungkin tak lagi diberlakukan negara, karenanya mereka menganggap Katu berada di dalam TNLL. Meski sejarahnya Katu lebih dulu ada dari TNLL,” tera Nua Ia menyatakan perjuangan petani Katu kembali dimulai, meski ini adalah proses panjang dari sejarah lampau. “Kami bukan melawan negara, tetapi kami ingin mengingatkan negara bahwa tugasnya adalah melindungi dan menyejahterakan rakyat,” tandas Nua. Menurut Nua, cerita perjuangan massa lalu menjadi kisah heroik yang patut diteladani. Namun, ia juga sadar bahwa perjuangan tidak mungkin berhasil tanpa dukungan banyak pihak. Petani Katu beranggapan perjuangan mereka harus didukung oleh aktivis, buruh dan sesama petani yang juga memiliki persoalan serupa. Sebab, menurut mereka persoalan pemancangan tata batas kawasan hutan tidak hanya terjadi di kampung Katu. Persoalan itu juga terjadi di seluruh desa yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. Papa Santi (60), seorang tokoh petani Katu mengatakan TNLL lahir tahun 1993, sedangkan Katu resmi jadi desa pada 1925. “Jauh sebelum Indonesia merdeka, Katu sudah ada. Kendati sejumlah ancaman terus mengancam kami,” kata dia Ketika petani penolak pemindahan, Katu tak pernah menjadi perhatian pembangunan. Hal itu dapat dilihat dari kondisi jalan menuju desa Katu yang hanya berjarak 8 kilometer. Para petani Katu membangun jalannya sendiri agar dapat dilalui kendaraan motor dan mobil. Meski telah dapat dilalui kendaraan, namun kondisinya sangat memprihatinkan. Apalagi jika musim hujan, kendaraan kadang tak dapat melaluinya. “Saya berulang kali menyampaikan kondisi Katu kepada bupati Poso saat masih PietInkiriwang. Jawabannya hanya satu, jalan ke Katu tidak dapat dibangun karena masuk dalam kawasan TNLL,” kata Ferdinan.
Kehadiran Pejabat TNLL dan BPKH Wilayah XVI Palu Oldy Soplantino, Camat Lore Tengah, tiba-tiba datang ke Katu. Ia datang untuk menyampaikan kabar kepada masyarakat Katu bahwa kepala BPKH Wilayah XVI Palu dan Kepala Balai Besar TNLL akan berkunjung ke Katu. Berita itu membuat ibu-ibu rumah tangga petani Katu hampir tak punya waktu memasak di rumah masing-masing. Mereka semua sibuk mempersiapkan pertemuan di balai desa. Beberapa aparat desa juga tampak sibuk keluar masuk di rumah-rumah petani. Menurut Ferdinan, mereka mengumpulkan beras untuk makanan para tamu yang akan datang. Selain aparat desa, para penatua juga sibuk mengumpulkan ayam di kelompoknya masing-masing. Katanya, ayam itu akan menjadi lauk untuk para pejabat nanti. Sebagian juga terlihat memikul umbut rotan yang mereka kumpulkan dari hutan. Ada juga yang menenteng sayur-sayuran. Dua hari sebelum pertemuan di balai desa, para petani sibuk seperti sedang mempersiapkan pesta besar. Anak-anak remaja dan muda juga tak ketinggalan. Mereka ikut mempersiapkan pertemuan. “Kami ikut membantu, bukan karena dipaksa orang tua kami, tetapi kami juga gelisah kalau lahan-lahan kami masuk tata batas TNLL,” kata Akilaus (23), seorang pemuda Katu. Di Katu, anak-anak muda rata-rata memiliki lahan kakao meski luasnya tak seberapa. Mereka memilih jadi petani karena tak dapat melanjutkan sekolah. Menurut Nua, anak-anak muda di Katu hampir 90% hanya tamat Sekolah Dasar (SD). Saat ini, baru beberapa yang sedang melanjutkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Sedangkan yang masuk perguruan tinggi baru ada 4 (empat) orang.
Meski pendidikan mereka tak seberapa, tetapi militansi perjuangan mempertahankan tanah begitu besar. Mereka siap berdemonstrasi jika TNLL memaksakan keinginannya mengambil tanah petani. “Kitorang (kita) ini punya darah pejuang. Karena dulu, kakek kami adalah pejuang yang mempertahankan kampung kami, sampai kami ada di sini,” tera Arkilaus sambil tersenyum. Pada Rabu (3/5/17), kira-kira pukul sepuluh lewat, Kepala Balai Besar TNLL, Ir. Sudayatna, dan Kepala BPKH Wilayah XVI Palu, Hariani Samal, beserta rombongan tiba di Katu. Tanpa komando, para petani Katu segera memenuhi balai desa. Sebagian dari mereka mempersiapkan makanan. Beberapa menit kemudian, para rombongan menghampiri balai desa. Setibanya di balai desa, para petani menyambut mereka dengan riang. Bahkan Kepala BPKH Wilayah XVI Palu saat menyampaikan sambutannya, mengatakan rasa haru atas sambutan petani Katu. Para petani Katu berharap pertemuan itu menghasilkan kesepakatan yang membuat mereka tenang. Mereka berharap agar pihak BPKH Wilayah XVI Palu dan TNLL bersepakat menerima usulan wilayah administrasi Katu seluas 5.461,3 ha. Kepala BPKH Wilayah XVI Palu dan Kepala Balai Besar TNLL saat dialog bersama petani Katu. Doc. YTM 2017 Negosiasi pun berjalan alot. Kepala BPKH Wilayah XVI Palu dan Kepala Balai Besar TNLL tak setuju dengan usulan petani Katu. Menurut Hariani, BPKH Wilayah XVI Palu tak punya kewenangan menurunkan status kawasan hutan. Demikian juga pernyataan Kepala Balai Besar TNLL. “BPKH hanya bertugas untuk melaksanakan pemancangan tata batas kawasan hutan. Soal penurunan status kawasan, kami tak punya kewenangan, itu harus melalui proses panjang,” kata Hariani. Ia menyarankan agar petani Katu mengusulkan keinginannya itu kepada Bupati Poso, sehingga Bupati Poso mengusulkan kepada Gubernur Sulawesi Tengah untuk perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Menurutnya, proses itu membutuhkan waktu cukup panjang karena usulan perubahan RTRW akan diberikan kepada KLHK. Lalu, KLHK meminta persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Para petani Katu tak mau pusing dengan itu. Mereka beranggapan proses pengusulan pemutihan wilayah adalah urusan pemerintah. Mereka bergantian memprotes Kepala BPKH Wilayah XVI Palu. “Mestinya pemerintah yang datang ke sini melihat situasi masyarakat. Sekarang bapak dan ibu ada di sini, berarti usulan kami tak bisa ditawar dan itu harus segera diproses,” kata Ferdinan. Para petani terus melancarkan pertanyaan kepada Kepala BPKH Wilayah XVI Palu dan Kepala Balai Besar TNLL. Namun, jawabannya tetap sama dan cenderung berkelit, seakan tak memiliki tanggung jawab atas pemancangan tata batas dan usulan masyarakat Katu. Para petani terus berteriak. “Tolak Taman Nasional Lore Lindu. Keluar dari wilayah kami”. Pertemuan itu akhirnya berakhir tanpa hasil. Ferdinan mengakhiri pertemuan itu, karena usulan para petani tak diterima. Ia berpesan agar usulan masyarakat disampaikan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Orang Katu tetap tidak mau menerima pemancangan tata batas sementara, kami ingin wilayah desa Katu yang seluas lima ribu lebih hektar di keluarkan dari TNLL,” tegas Ferdinan. [1] Penulis adalah Manager Kampanye dan Jaringan Yayasan Tanah Merdeka Palu