Tegakkan Konstitusi: Pulihkan hak-hak Masyarakat Adat, Sahkan UU Masyarakat Adat!

Sikap Politik
Gerakan Rakyat Kawal Masyarakat Adat (GERAK MASA)
Satu Dekade Pemerintahan Jokowi dan Tuntutan Untuk Agenda Masyarakat Adat di Pemerintahan Baru

Satu dekade rezim Joko Widodo (Jokowi) meninggalkan warisan dosa-dosa kepada Masyarakat Adat. Rezim ini telah berkhianat kepada UUD 1945, ingkar pada janji politiknya dan gagal melindungi rakyat. Tak ada itikad baik yang ditunjukkan oleh pemerintah untuk kepentingan dan keberpihakan Masyarakat Adat. Bahkan sebagian besar kebijakan pemerintah justru berorientasi pada perluasan dan penguatan sektor bisnis, kekuasaan telah digunakan sedemikian rupa guna melanggengkan kepentingan oligarki.

Masalah di atas dibuktikan dengan adanya berbagai produk hukum seperti revisi UU Minerba, UU CK, UU IKN, pengesahan UU KUHP. Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut didesain dan disahkan sengaja untuk menyangkal keberadaan lebih dari 40 juta Masyarakat Adat beserta hak-hak konstitusionalnya (AMAN, 2023). Negara masih terus menerus mengedepankan skenario hukum yang berwatak merampas dan menindas masyarakat adat. Ini tercermin dari kebijakan pengakuan hukum masyarakat adat dan wilayah adatnya yang rumit, berbelit dan sektoral. Dalam banyak kasus bahkan hendak memisahkan proses pengakuan hak atas wilayah adat dengan Masyarakat Adat, mengecualikan wilayah-wilayah adat yang berkonflik dari target pemerintah. Artinya Presiden Joko Widodo dan Kabinetnya memang tidak memiliki kemauan politik yang tulus untuk mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak konstitusional Masyarakat Adat.

Karena arah pembangunan ekonomi dan kebijakan dikendalikan pemodal, di mana DPR sendiri sebagai pembentuk Undang-Undang selama ini telah dikontrol para pengusaha. Saat ini sukar dipisahkan mana perwakilan rakyat dengan perwakilan korporat, sebab 55% anggota DPR adalah pengusaha di mana 26% di antaranya pengusaha skala besar (Marepus Corner, 2023). Hal ini berdampak pada cepatnya pembentukan hukum dan kebijakan yang melegalkan monopoli sumber agraria dan kekayaan alam lainnya demi pengusaha.

Satu dekade pemerintahan Jokowi adalah wujud dari absolutisme kekuasaan, yang ditandai dengan menguatnya kekuasaan eksekutif, melemahnya fungsi legislatif, dan hilangnya oposisi. Kita sedang menghadapi fakta politik di mana kekuasaan berlangsung tanpa adanya interupsi. Dampaknya segala hal yang bertentangan dengan kepentingan pemerintah diabaikan atau bahkan ditolak dengan berbagai modus politik penaklukan. Akhirnya satu dekade Pemerintahan Joko Widodo telah memicu krisis multidimensi, mulai dari krisis politik, sosial, ekologi, agraria hingga krisis hukum.

Berikut ini kejahatan rezim pemerintahan Jokowi sepanjang tahun 2014-2024 kepada Masyarakat Adat:

Pertama, Rezim Jokowi secara terang-terangan membegal RUU Masyarakat Adat yang menjadi harapan bagi seluruh Masyarakat Adat di nusantara. Dengan menolak pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat, artinya Presiden Joko Widodo sengaja membiarkan masyarakat adat hidup tanpa jaminan hukum demi pengakuan, perlindungan, pemenuhan hak konstitusional masyarakat adatnya. Selain itu janji politik Enam NAWACITA Jokowi terkait Masyarakat Adat bahkan tidak diingat sama sekali.

Sebaliknya, demi pengusaha dan elit politik, Presiden Joko Widodo memaksakan pembentukan dan pengesahan UU CILAKA. Padahal ratusan ribu Mahasiswa, Masyarakat Adat, Buruh, Petani, Nelayan dan Perempuan di Republik ini turun ke jalan menolak hal tersebut. Pengesahan UU CILAKA yang penuh kecacatan ini disahkan dengan diam-diam, mengindahkan seluruh penolakan rakyat. Isinya bahkan menghidupkan pasal-pasal bermasalah yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK.

Kedua, Perampasan wilayah adat demi memindahkan Ibu Kota Nusantara (IKN) ke Kab. Penajam Paser Utara (PPU) dan Kab. Kutai Kartanegara (Kukar). IKN yang dibangun hanya atas keinginan pribadi Joko Widodo dan segelintir pengusaha ini merenggut hak partisipasi penuh dan efektif dari Masyarakat Adat yang akan terdampak langsung. Bahkan, Penetapan lokasi IKN pada Agustus 2019, dilakukan tanpa persetujuan pemilik wilayah adat, bahkan di lapangan terdapat banyak konflik agraria yang tidak pernah diselesaikan pemerintah.

Penetapan lokasi IKN secara ugal-ugalan juga diikuti dengan pengesahan UU IKN yang hanya memakan waktu singkat, praktis hanya dibahas dalam waktu 17 hari saja. Tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) juga serupa. Kajian yang dipublikasikan pemerintah justru merupakan KLHS cepat. KLHS ini adalah kajian yang dibuat setelah ibu kota baru ditetapkan di Kalimantan Timur, bukan kajian yang melatarbelakangi mengapa Kalimantan Timur dan bukan wilayah lain yang dipilih sebagai lokasi IKN.

Sebanyak 51 Komunitas Masyarakat Adat yang tersebar di Kab. Penajam Paser Utara (PPU) dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) hingga saat ini mengalami ketidakjelasan nasib dan masa depannya karena tidak adanya jaminan hukum pengakuan dan perlindungan hak- hak atas wilayah adat yang mereka telah tempati secara turun-temurun. Bahkan seluruh wilayah adat Komunitas Masyarakat Adat Balik Sepaku di Kab. Penajam Paser Utara seluas 40.087,61 hektar secara keseluruhan masuk dalam wilayah pembangunan IKN. Hal ini mendudukkan Masyarakat Adat Balik Sepaku sebagai Komunitas Masyarakat Adat yang terancam punah akibat pembangunan IKN (AMAN, 2022). Sebaliknya para pengusaha diberikan keistimewaan oleh negara untuk merampas dan memonopoli tanah-tanah Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Perempuan dan Peladang tradisional di IKN melalui pemberian 190 tahun untuk HGU dan 160 tahun untuk HGB.

Ketiga, Perampasan tanah terjadi sangat cepat selama pemerintahan Joko Widodo, AMAN mencatat terdapat 687 konflik agraria di wilayah adat seluas 11,07 Juta Hektar (AMAN, 2024). Korban akibat perampasan wilayah adat ini lebih dari 925 warga Masyarakat Adat yang dikriminalisasi, 60 orang Masyarakat Adat direpresi dan tidak sedikit yang harus meninggal dunia. Kejahatan pemerintahan Joko Widodo juga dialami kelompok Petani, Buruh Tani, Nelayan dan Perempuan. Dalam 10 tahun terakhir terjadi 2.939 konflik agraria, tanah-tanah rakyat seluas 6,30 juta hektar dirampas demi dijadikan pusat bisnis pengusaha (KPA, 2023). Celakanya penanganan konflik agraria semacam ini masih bersifat represif, akhirnya 1.054 orang yang mempertahankan hak atas tanah dan lingkungannya dikriminalisasi oleh Kepolisian (WALHI, 2024).

Konflik agraria di atas juga dampak dari pengingkaran pemerintahan Joko Widodo terhadap TAP MPR No.IX tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA. Pemerintah yang ditugaskan untuk peraturan perundangan-undangan yang mendiskriminasi Masyarakat Adat, Petani, peladang, perempuan, dan nelayan, menyusun kebijakan untuk penyelesaian konflik, melakukan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan di sektor SDA yang berkeadilan bagi Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Peladang, Perempuan dan kelompok marginal lainnya.

Keempat, menyesatkan pengakuan wilayah adat melalui perhutanan sosial. Meskipun tujuan perhutanan sosial untuk memberikan akses kepada masyarakat dalam pengelolaan hutan. Tetapi secara nilai dan prinsip perhutanan sosial tidak dapat disetarakan dengan pengakuan penuh atas wilayah adat. Sebab hutan adat merupakan hutan dengan status hutan hak milik Masyarakat Adat berada di dalam wilayah adat, sebagaimana telah ditegaskan dalam Putusan MK 35 Tahun 2012.

Lebih dari itu, perhutanan sosial justru digunakan Kementerian LHK untuk merampas wilayah adat seluas 240 ribu hektar dengan alasan telah dijadikan lokasi perhutanan sosial (AMAN, 2021). Lebih parah lagi perampasan tanah-tanah rakyat atas nama perhutanan sosial di Jawa, kini 1,1 juta hektar tanah, kampung dan desa diklaim sepihak oleh Menteri LHK sebagai kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK). Perhutanan sosial (HD, HKm, HTR, Hutan Desa, Hutan Kemitraan) merupakan skema perizinan, yang menjadikan masyarakat adat, petani, buruh tani, nelayan sebagai penyewa tanah kepada Kementerian LHK, sekaligus mengakui klaim ilegal kawasan hutan.

Kementerian LHK yang menempatkan pengakuan hutan adat melalui perhutanan sosial justru menyebabkan diskriminasi dan mempersulit pengembalian serta pengakuan hak Masyarakat Adat terutama hutan. Belum lagi masalah tumpang tindih aturan perhutanan sosial dan pengakuan hutan adat di dalam wilayah adat. Dalam Pasal 29A dan 29B UU CK, status perhutanan sosial diperkuat dari Peraturan Menteri menjadi selevel Undang-Undang. Sementara UU CK tidak mengubah Pasal 67 UU Kehutanan yang mensyaratkan pengakuan Masyarakat Adat dengan Peraturan Daerah (Perda).

Kelima, Menghidupkan praktik kolonialisme baru melalui klaim Hak Pengelolaan (HPL). Sumber tanah HPL yang diatur dalam PP 18/2021 tentang Hak Pengelolaan, dapat berasal dari tanah yang belum bersertifikat bahkan Tanah Ulayat sebagai Tanah Negara. Akibat kekacauan berpikiran ini, Kementerian ATR/BPN yang mengesahkan Permen ATR/BPN 14/2024 tentang tentang Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat (Hukum) Adat. Aturan sebagai dasar penerbitan HPL di atas tanah ulayat ini memperparah pengaturan Hak Menguasai dari Negara (HMN) dan kewenangan/hak ulayat.

Padahal Konstitusi dan UUPA jelas mengatur bahwa Masyarakat Adat memiliki hak dan kewenangan penuh pengaturan tanah-tanah di atas tanah ulayatnya masing-masing, sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) dan 28I ayat (3) UUD 194, Pasal 2 UUPA dan Putusan MK 35. Dengan penerbitan sertifikat HPL terhadap tanah ulayat dan wilayah adat tanpa kehendak murni masyarakat adat, maka semakin mudah pengusaha menguasai dan memperjual belikan tanah dan wilayah adat dalam pasar tanah liberal.

Keenam, Pemerintahan Jokowi mengeluarkan solusi palsu untuk mengatasi krisis iklim melalui pasar karbon. Paket kebijakan untuk mengatasi krisis iklim tersebut tercermin di dalam dokumen RPJMN 2020-2024, perdagangan karbon menjadi salah-satu program prioritas pemerintah Indonesia. Untuk mewujudkan hal tersebut pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengintegrasikan izin lingkungan dan perizinan berusaha di sektor kehutanan, pertambangan, perkebunan, dan sektor lain dengan cara memberikan kemudahan kepada pelaku usaha untuk secara langsung mendapatkan wewenang pengelolaan karbon/emisi dari aktivitas bisnisnya. Hal yang sama tercermin dalam politik hukum UU Cipta Kerja.

Pemerintah sama sekali tidak menjadikan Masyarakat Adat dan komunitas lokal sebagai aktor utama dalam upaya mengatasi krisis iklim. Berbagai kebijakan yang dilahirkan seperti Perpres No. 98/2021, UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Perpajakan, dan peraturan turunan lainya justru digunakan untuk memberikan impunitas bagi korporasi perusak alam dan lingkungan hidup untuk merampas ruang hidup Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Peladang, Perempuan dan kelompok marginal lainnya. Padahal sepanjang tahun 2013-2017, hutan alam Indonesia hilang seluas 23,5 juta hektar justru disebabkan karena berbagai konsesi perizinan, seperti pertambangan, perkebunan, izin usaha kehutanan, dan infrastruktur (FWI, 2019). Masyarakat yang akan menjadi korban krisis iklim mencapai 104 juta penduduk yang tinggal di kawasan pesisir Indonesia (WALHI, 2024).

Ketujuh, menjalankan solusi palsu penyelamatan lingkungan. Pemerintahan Jokowi masih mengutamakan bahan bakar energi fosil sebagai sumber pembangkit listrik. Industri pertambangan bahkan diberikan karpet merah melalui revisi UU Minerba. Seluas 1.919.708 hektar wilayah adat yang menjadi ruang hidup Masyarakat Adat dirampas untuk konsesi pertambangan (AMAN, 2019).

Di tengah wacana transisi energi pasca penandatanganan perjanjian Paris 2015, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Kebijakan di atas adalah satu dari banyaknya kebijakan yang digunakan pengusaha untuk mengekspansi bisnis dan menginvasi tanah-tanah rakyat untuk dijadikan proyek strategis nasional (PSN) seperti PLTU batubara, ekstraksi dan hilirisasi nikel, biodiesel, bioetanol dll. Akhirnya gagasan FOLU Indonesia hanya menjadi kesempatan untuk semakin memperkuat bisnis pengusaha dengan kedok kebijakan hijau.

Bukan hanya PLTU batubara Captive yang dibangun demi menyokong bisnis energi, tetapi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) skala besar seperti di Poso, juga dibangun untuk menjaga pasokan listrik industri tambang terutama pemurnian tambang. Kawasan Industri Hijau dengan total mencapai 30.000 hektar disiapkan sebagai pusat sektor industri yang bermuara pada hilirisasi barang-barang tambang, dengan klaim sebagai kawasan penopang IKN. Kawasan “industri hijau” tidak lebih dari sekadar jargon, sebab kawasan industri ini dibangun di atas ekstraksi dan pembakaran fosil.

Proyek geothermal di Komunitas Masyarakat Adat Poco Leok Kab. Manggarai NTT dan pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm) dengan bahan bakar kayu oleh Medco Group telah membongkar area cukup luas hutan alam Papua untuk membangun perkebunan HTI, secara nyata merampas dan melanggar hak-hak Masyarakat Adat Poco Leok di NTT dan Orang Marind di Merauke Papua.

Berbagai fakta mengenai transisi energi yang diperbincangkan dan diimplementasikan saat ini tidak lebih dari tipu muslihat para pemodal untuk tetap terus mengekstraksi fosil untuk menopang industrialisasi. Transisi energi, Zero emisi, netral karbon, dekarbonisasi hanyalah kata kunci bisnis yang dipakai untuk mengekstraksi sebesar-besarnya fosil dan melepaskan emisi guna tetap bisa menghidupi industri bisnis energi itu sendiri. Energi diletakkan dalam bingkai bisnis, sehingga apa yang disebut dengan energi hijau, energi yang adil, sesungguhnya tidak akan pernah ada.

Kedelapan, memperkuat ancaman perampasan wilayah adat melalui klaim kawasan konservasi. Alih-alih menata ulang kawasan konservasi yang selama ini banyak berkonflik dengan Masyarakat Adat. UU No. 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) yang ditetapkan pada tanggal 9 Juli 2024, justru semakin memperkuat sentralisasi penunjukan dan penetapan kawasan konservasi secara sepihak oleh negara. Masyarakat Adat tidak diberikan ruang untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif di dalam menentukan kawasan konservasi berdasarkan hukum adat dan pengetahuan tradisional yang telah mereka praktikkan selama ini. Padahal bagi Masyarakat Adat praktik konservasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari landscape kehidupannya.

Bahkan di dalam UU KSDAHE yang baru, disebutkan bahwa areal preservasi, yaitu areal di luar KSA, KPA, dan kawasan konservasi di perairan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (KKPWP2K). Penambahan kriteria kawasan atau areal preservasi diikuti dengan keharusan bagi setiap orang pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanahnya apabila tidak bersedia melakukan kegiatan KSDAHE. Kebijakan ecofascism ini adalah ancaman nyata yang sewaktu-waktu dapat menggusur Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Peladang dari wilayah tempat mereka tinggal. Situasi ini memposisikan Masyarakat Adat, petani, nelayan dan peladang sebagai kelompok yang rentan dihadapkan dengan tindakan kekerasan dan kriminalisasi atas nama konservasi.

Kesembilan, memperkuat kontrol pengusaha atas kekayaan alam Indonesia melalui Food Estate dan Bank Tanah. Akibat kejahatan pemerintahan Joko Widodo yang mengeluarkan UU CILAKA, para elit politik dan pengusaha dijamin oleh hukum untuk menguasai tanah. Sebagai lembaga yang dilahirkan dari desakan pemodal, Bank Tanah sudah pasti akan menjamin penyediaan tanah untuk mendukung peningkatan ekonomi dan investasi sekaligus memberi jaminan perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah. Melalui Bank Tanah 7,4 juta hektar tanah rakyat yang berasal dari bekas HGU akan dikuasai Bank tanah sebelum dijual kembali kepada pemodal.

Nasib serupa masyarakat adat di berbagai daerah yang menghadapi perampasan tanah demi pembangunan industri pangan atau food estate. Bukannya memperkuat masyarakat adat, nelayan dan petani sebagai produsen pangan yang utama, Presiden Joko Widodo memilih pengusaha menggantikan kewajiban tersebut. Kini tanah dan pangan semakin dikomoditisasi, dilengkapi berbagai perangkat hukum yang tidak berpihak pada Petani, Buruh Tani, Masyarakat Adat, Nelayan, dan Perempuan. Bank Tanah dan food estate sama-sama melemahkan agenda Reforma Agraria sekaligus menjauhkan pengakuan penuh atas tanah dan wilayah adat.

Kesepuluh, Kooptasi hukum adat dalam hukum negara melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dihadirkan oleh Pemerintahan Jokowi untuk membuat eksekutif memiliki otoritas yang besar. Pendokumentasian hukum adat dalam KUHP pada dasarnya dapat dibaca sebagai bagian dari upaya “mengkooptasi” hukum adat dan akan berakibat pada: matinya karakter dinamis hukum adat; mencerabut hak asal-usul Masyarakat Adat untuk menjalankan peradilan adat yang telah dijalankan secara turun-temurun sebab kewenangan untuk menjalankan hukum adat bukan lagi milik Masyarakat Adat, tetapi sepenuhnya telah berada dalam otoritas negara.

Kesebelas, transisi kekuasaan dilakukan dengan cara-cara yang anti demokrasi. Keberpihakan Presiden Jokowi pada pemilihan Presiden 2024 memberikan sinyal yang sangat kuat untuk melanggengkan kekuasaannya dengan berkolaborasi dengan pemodal-pemodal besar yang akan bekerja untuk menerus merampas wilayah adat di berbagai sektor dengan kedok proyek strategis nasional. Tak hanya itu, era Presiden Jokowi yang dilahirkan dari proses demokrasi justru merusak demokrasi. Hal tersebut dapat dilihat pada upayanya melakukan nepotisme secara terang-terangan, menggerakkan aparatur negara untuk kepentingan pribadi, melemahkan kewenangan KPK, mengintervensi kewenangan lembaga peradilan hingga berpihak pada oligarki dengan mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat.

Pada Selasa, 1 Oktober 2024, para wakil rakyat yang dihasilkan dari proses Pemilu 2024 resmi ditetapkan sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Menurut data Indonesian Parliamentary Center (IPC) (2024) komposisi keanggotaan DPR RI periode 2024-2029 sebagian besarnya masih didominasi oleh incumbent yakni dari total 580 kursi anggota parlemen, 327 di antaranya adalah incumbent. Serta menurut temuan IPC terdapat 11,6% anggota DPR terpilih yang terafiliasi dengan dinasti politik dan 16,9%-nya adalah pengusaha. DPR memiliki peran strategis dalam pembentukan hukum, anggaran pembangunan dan mengawasi kinerja pemerintah. Oleh karena itu, kami menolak segala bentuk penyalahgunaan wewenang atau kolusi yang dapat merusak kepercayaan rakyat.

Berdasarkan pandangan di atas kami Gerakan Rakyat Kawal Masyarakat Adat (GERAK MASA) menuntut pertanggungjawaban Presiden Jokowi terhadap pelanggaran hak-hak konstitusional Masyarakat Adat. Kami juga mendesak kepada pemerintahan Presiden Prabowo-Gibran agar dalam masa pemerintahannya lebih tegas dan konsisten dalam mengakui, melindungi, dan memenuhi hak-hak Masyarakat Adat, dengan mengambil tindakan nyata sebagai berikut:

  1. Mendesak Pemerintah Prabowo-Gibran agar mengesahkan RUU Masyarakat Adat dalam 100 hari pertama pemerintahannya. UU ini akan menjadi landasan hukum yang kuat untuk mengakui dan melindungi hak-hak kami, serta memberikan kepastian hukum atas wilayah adat yang selama ini diabaikan.
  2. Mempercepat pengakuan hak atas wilayah adat, penyelesaian konflik agraria yang selama ini tersandera di meja Kabinet Presiden Joko Widodo, sekaligus menghentikan seluruh perampasan tanah untuk pembangunan PSN, bisnis pengusaha dan kebijakan pro pemodal asing lainnya di atas wilayah adat.
  3. Mendesak agar Presiden Prabowo berani mencabut UU Cipta Kerja, UU KSDAHE, UU Minerba, dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang mendiskriminasi Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Buruh, perempuan, dan kelompok marginal lainnya.
  4. Mendesak Presiden Prabowo untuk memulihkan Kedaulatan Bangsa Indonesia atas tanah dan kekayaan alamnya serta mewujudkan kesejahteraan dengan menjalankan Reforma Agraria yang sejati sesuai mandat Konstitusi, TAP MPR No. IX Tahun 2001 dan UUPA 1960.
  5. Mendesak pemerintah Prabowo-Gibran untuk menjamin perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat dan Pembela Masyarakat Adat yang memperjuangkan hak atas wilayah adatnya. Pemerintahan Prabowo harus menegakkan supremasi hukum tanpa berpihak pada kepentingan modal atau korporasi besar semata.
  6. Mendesak Pemerintahan Prabowo-Gibran untuk memastikan partisipasi secara penuh dan efektif Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Perempuan dan kelompok masyarakat lainnya dalam setiap pengambilan keputusan yang akan berdampak langsung pada Masyarakat Adat, petani, nelayan, perempuan dan kelompok masyarakat lainnya.
  7. Mendesak pemerintahan Prabowo Gibran untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup dan penegakan hukum terhadap korporasi penjahat lingkungan dan pelanggar hak asasi manusia.
  8. Meminta kepada Pemerintahan Prabowo untuk mendukung upaya pelestarian budaya, dan memberikan akses pendidikan yang sesuai dengan kearifan lokal. Pendidikan yang menghargai bahasa, nilai, dan pengetahuan lokal akan memperkuat identitas kami dan memastikan keberlanjutan kebudayaan adat di tengah arus globalisasi. Bukan sekedar simbolisasi dengan penggunaan pakaian adat dalam acara-acara kenegaraan.

Demikian pernyataan sikap politik kami Masyarakat adat di seluruh nusantara, panjang umur perjuangan. Tegakkan Konstitusi: Pulihkan hak-hak Masyarakat Adat, Sahkan UU Masyarakat Adat!

Jakarta, 11 Oktober 2024
Hormat Kami,

 

Rukka Sombolinggi
Koordinator Umum

 

Juru bicara:
1. Rukka Sombolinggi (Sekjend AMAN)
2.
Eustobio (Deputi Sekjen AMAN Urusan Organisasi)
3.
Erasmus Cahyadi (Deputi Sekjen AMAN Urusan Politik)

Penanggung Jawab Komunikasi Media:
Titi Pangestu (Direktur Infokom AMAN) - 081317897062

Gerakan Rakyat Kawal Masyarakat Adat (GERAK MASA)

  1. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
  2. Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
  3. PEREMPUAN AMAN
  4. Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN)
  5. Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat
  6. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
  7. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
  8. Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)
  9. Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)
  10. Sajogyo Institute
  11. Kaoem Telapak
  12. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
  13. Greenpeace Indonesia
  14. Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI)
  15. Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI)
  16. Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI)
  17. Pembebasan
  18. Forest Watch Indonesia (FWI)
  19. KEMITRAAN-Partnership for Governance Reform in Indonesia
  20. Sawit Watch
  21. Perkumpulan HuMa
  22. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)