Teror di Cibetus
Pada dini hari 7 Februari 2025, Kampung Cibetus, Padarincang, Kabupaten Serang, Banten dilanda teror.
Aparat bersenjata menyerbu desa, mendobrak rumah-rumah warga, dan menangkap orang-orang, termasuk santri dan pengelola Pesantren, tanpa surat perintah. Hingga 13 Februari, sudah 13 warga yang ditangkap.
Penangkapan ini terjadi setelah insiden kebakaran kandang ayam milik PT Sinar Ternak Sejahtera (STS), anak perusahaan Charoen Pokphand, pada November 2024.
Lalu bagaimana duduk perkara yang sebenarnya, mengapa warga kampung Cibetus terlibat aksi yang berujung pada insiden kebakaran kandang ayam.
Dan mengapa polisi mengambil langkah brutal, bukan mengedepankan cara-cara yang lebih beradab?
Awal Konflik: Dampak Pencemaran Peternakan Ayam (2013-2018)
Konflik bermula ketika Djohar Setiawan mendirikan peternakan ayam pada lahan seluas 2 hektar di Cibetus pada tahun 2013.
Usaha peternakan ayam Djohar berkapasitas 30 ribu ekor. Jarak kandang hanya berkisar 30 meter dari pemukiman.
Jarak sedekat itu membuat warga harus menanggung polusi berupa bau busuk kotoran ayam, lalat berkembang biak tak terkendali. Warga juga mulai merasakan gangguan kesehatan seperti iritasi kulit dan gangguan pernapasan.
Pada 2014, warga mengadukan keluhan pada ketua RT. Ketua RT meneruskannya ke Djohar, namun dia membantah tuduhan pencemaran.
Pada 2016 seorang warga bernama Muslik meninggal karena penyakit paru-paru. Keluarganya meyakini pencemaran peternakan menjadi penyebabnya. Tak ada upaya dari Djohar untuk mengatasi keluhan warga. Akibatnya, situasi semakin memburuk.
Pada Februari 2018, setelah mendapat tekanan besar, Djohar menutup peternakannya. Warga pun mengira permasalahan telah selesai, namun tidak demikian.
Masuknya Charoen Pokphand: 270 Ribu Ayam Berhimpit dengan Pemukiman (2019-2022)
Pada 2019, PT STS, anak perusahaan Charoen Pokphand Indonesia, membeli lahan bekas peternakan Djohar.
Tanpa sosialisasi dan konsultasi dengan warga, Perusahaan ini membangun kandang ayam dengan kapasitas 270.000 ekor, meningkat sembilan kali lipat dari sebelumnya.
Akibatnya, pencemaran semakin parah: bau semakin menusuk hidung, air tanah tercemar, serta lonjakan kasus penyakit seperti batuk, demam, sesak napas, dan iritasi kulit.
Warga melayangkan surat protes secara berjenjang, mulai dari Kepala Desa, Camat hingga berbagai instansi di tingkat Kabupaten, namun hasilnya nihil.
Warga lalu melaporkan pencemaran hingga dampak yang mereka alami akibat keberadaan 270 ribu ekor dekat pemukiman mereka. Laporan dilakukan melalui surat dan mendatangi langsung Polsek Ciomas, Polres Serang hingga Polda Banten. Hasilnya tetap nihil.
Upaya pelaporan yang terus dilakukan sejak 2019 tak kunjung membuahkan hasil. Namun warga tidak menyerah. Pada 2022, lebih dari 90% warga menandatangani petisi untuk menutup peternakan, namun tetap diabaikan oleh pemerintah dan perusahaan, juga polisi.
Gelombang Aksi Protes (2023-2024)
Gagalnya upaya hukum dan administratif membuat warga meningkatkan aksi protes.
Pada 6 Agustus 2023, warga menggelar unjuk rasa di depan gerbang perusahaan. Jalan masuk diblokir dengan tumpukan batu, yang kemudian dibongkar paksa oleh perusahaan.
Warga lalu membangun blokade beton yang lebih kokoh dan menggelar istighosah (doa bersama), tetapi lagi-lagi perusahaan membongkarnya.
Menyadari situasi makin panas, Bupati Serang mengadakan mediasi antara warga dan perusahaan, Pada 15 Agustus 2023. Namun Bupati menolak tuntutan mencabut izin operasional PT STS.
Sehari setelah mediasi, pagar perusahaan roboh dalam aksi spontan warga. Polisi mulai memanggil warga untuk diperiksa, tetapi tidak ada bukti kuat untuk menjerat mereka.
Pada awal 2024, warga kembali menggelar istighosah. Dua orang tak dikenal menyusup dan memicu keributan.
Alih-alih menangkap para provokator, polisi justru menahan warga atas dugaan pengeroyokan. Mereka akhirnya dibebaskan karena tidak terbukti bersalah.
Aksi Puncak dan Represi Aparat (Oktober 2024-Februari 2025)
Pada 24 Oktober 2024, PT STS mendatangkan ratusan anak ayam (DOC). Warga merespon dengan melakukan aksi besar-besaran menuntut penghentian operasional peternakan.
Ketegangan meningkat hingga akhirnya terjadi insiden kebakaran yang menghanguskan sebagian fasilitas perusahaan.
Pasca kebakaran, polisi mulai memanggil warga untuk diperiksa. Dengan patuh warga menghadiri panggilan dan menjalani pemerikasaan didampingi Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD).
Pemeriksaan berjalan lancar hingga akhir dan semua warga yang diperiksa diperbolehkan pulang. Tak ada yang ditahan dan tak ada penetapan tersangka.
Namun, dua bulan kemudian, pada 7 Februari 2025, aparat melakukan penggerebekan brutal, tanpa menunjukkan surat tugas, tanpa menjelaskan duduk perkara penangkapan.
Warga ditangkap secara paksa, bahkan ada yang ditodong senjata. Seorang Kiai dan lima santri di bawah umur turut ditangkap tanpa alasan yang jelas.
Standar Ganda dalam Penegakan Hukum
Penanghkapan brutal ini menunjukkan bagaimana hukum bekerja bekerja di negeri ini.
Warga yang berulang kali melaporkan pencemaran lingkungan yang membuat mereka sakit, diabaikan. Sebaliknya, ketika perusahaan merasa dirugikan, aparat bertindak cepat dengan kekerasan.
Penangkapan warga dilakukan tanpa surat perintah, rumah mereka digeledah di tengah malam, dan santri di bawah umur ikut ditangkap. Tindakan ini melanggar hukum, termasuk:
- Pasal 18 KUHAP ayat (1): Penangkapan harus disertai surat perintah.
- Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019: Penyidik wajib membawa surat tugas saat melakukan penangkapan.
- Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009: Polisi harus menerapkan prinsip hak asasi manusia dalam tugasnya.
Atas kejadian tersebut TAUD menuntut Kapolri segera memeriksa Kapolda Banten dan seluruh personel yang terlibat dalam operasi represif ini.
WALHI yang merupakan bagian dari TAUD mempertanyakan perubahan drastis pendekatan polisi dalam menangani kasus protes warga Cibetus. Polres Serang yang memilih melakukan pemanggilan persuasif selalu ditaati oleh warga. Itu menunjukkan cara-cara persuasif lebih efektif.
Sayangnya ketika kasus ditangani oleh Polda Banten, pendekatannya berubah. Brimob dikerahkan pada malam buta untuk menangkap warga secara brutal.
Hukum Harus Berpihak pada Rakyat
Kasus Cibetus ini tidak hanya mencerminkan masalah lokal, tetapi menunjukkan ketimpangan sistemik dalam penegakan hukum di Indonesia, di mana kepentingan bisnis besar lebih dilindungi dibanding hak rakyat kecil.
Jika hukum terus dikendalikan oleh kepentingan korporasi, maka masyarakat kecil akan terus menjadi korban.
Perlawanan warga Cibetus adalah pengingat, hukum seharusnya berpihak pada rakyat, bukan hanya pada pemilik modal.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Adam Kurniawan
Kepala Divisi Publik Engangement
[email protected]
0811589856