Tolak Hutan Tanaman Industri di Hutan Siberut

#SaveHutanSiberut Jakarta, 9 November 2017. Hutan tropis Pulau Siberut di Kabupaten Kepulauan Mentawai kembali terancam dengan rencana masuknya perusahaan PT. Biomass Andalan Energi (PT. BAE) yang akan mengembangkan Hutan Tanaman Industri (HTI). Pembukaan kawasan hutan tentu akan terjadi besar-besaran, seakan tak pernah berhenti ancaman dan bencana ekologis menyertai kehidupan masyarakat Pulau Siberut setelah HPH memberikan dampak buruk, bahkan tanah dan hutan adat yang selama ini mendukung kehidupan dan kearifan lokal masyarakat juga harus dipertaruhkan untuk kepentingan bisnis energi. “Sebagian tanah yang dimohonkan untuk menjadi HTI adalah milik kami” tegas bapak Rupinus sebagai Kepala Suku Sabulukkungan. “Kami tak ingin kehilangan tanah dan hutan karena itu sumber kehidupan suku kami dan masyarakat yang tinggal disana. Kami melakukan ritual adat di hutan, mengambil rotan untuk membuat Opa (keranjang), kayu untuk membuat sampan dan dari hutan juga kami memperoleh tanaman obat dan makanan. Jika HTI masuk, maka kehidupan sosial, ekonomi, adat serta budaya kami akan hilang”. Bupati Kepulauan Mentawai “Yudas Sabaggalet” menegaskan bahwa kebijakan pemanfaatan hutan di Kepulauan Mentawai selama ini telah membuat hak dan akses masyarakat terhadap hutan adat berkurang. “Kami juga terhalang untuk menyediakan layanan-layanan pembangunan dasar bagi warga di dalam kawasan hutan dan dengan adanya HTI tentu akan semakin menyulitkan akses masyarakat dan menghilangkan kesempatan pemerintah daerah dalam pemberian layanan tersebut. Kebijakan pembangunan di Mentawai menganut sistem keseimbangan antara ekologi, sosial dan ekonomi. Keseimbangan itu selalu menjadi pertimbangan dan Pemda Mentawai telah menetapkan untuk menjadikan sektor pariwisata sebagai sektor utama penggerak pembangunan dan ekonomi daerah, termasuk melestarikan adat dan budaya serta lingkungan, bukan HTI”. Kebijakan pemberian konsesi dan pemanfaatan hutan yang eksploitatif di atas tanah masyarakat adat, tidak dibenarkan dengan alasan apapun. Bung Rifai Lubis dari Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) mempertegas “bahwa saat ini, sebesar 51% dari 246.011,41 hektar hutan produksi di Kepulauan Mentawai telah menjadi IUPHHK-HA dan jika IUPHHK-HT kembali diberikan kepada PT. BAE, maka akan semakin mempertegas ketimpangan dan ketidak-adilan pemanfaatan hutan. Areal yang akan menjadi konsesi perusahaan telah diusulkan menjadi Hutan Adat dalam peta PIAPS Provinsi Sumatera Barat dan YCMM bersedia menjadi mitra pemerintah untuk mendorong pengelolaan hutan adat oleh masyarakat adat Mentawai. Kami juga meminta agar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencabut SK No. 2382/Menhut-IV/BRPUK/2015 tentang arahan pemanfaatan hutan produksi di Kepulauan Mentawai untuk HTI seluas 20.110 hektar”. Daudi Silvanus Satoko mewakili Forum Mahasiswa Mentawai (FORMMA) Sumatera Barat menyatakan bahwa mereka menerima 68 surat penolakan dari masyarakat Pulau Siberut terkait rencana HTI tersebut. Selain alasan sebagai pemilik tanah, masyarakat juga beralasan bahwa masuknya HTI akan memperbesar potensi bencana banjir serta konflik sosial. Kami tentu mendukung upaya penolakan tersebut dan meminta kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk tidak memberikan izin hutan tanaman kepada perusahaan tersebut meski telah mendapatkan Izin Lingkungan dari Gubernur Sumatera Barat” tutupnya secara tegas. “Eksploitasi hutan di Kepulauan Mentawai untuk industri adalah ide nekat dan berbahaya. Jika melihat posisi akses dan konektivitas di dalamnya yang sangat terbatas, seharusnya gugus busur kepulauan pantai barat Sumatera ini mendapatkan perlindungan fungsi ekologis yang maksimal. Tutupan hutan yang masih bagus sebelum terbitnya izin-izin skala besar, menunjukkan bahwa adaptasi dan kesadaran pengelolaan oleh masyarakat adat telah menerapkan “standar tinggi” untuk perlindungan sumber-sumber kehidupannya. Selain menghentikan proses dan tidak menerbitkan izin hutan tanaman, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga harus segera membatalkan pencadangan 1 juta hektar hutan untuk hutan tanaman, karena beban kerusakan oleh HTI di ekosistem gambut telah melampaui daya kontrol pemerintah, maka jangan menambah malapetaka di ekosistem hutan” tegas Zenzi Suhadi sebagai Kepala Departemen Kajian, Pembelaan Hukum dan Lingkungan WALHI.