Siaran Pers 1 September 2019
Penghujung akhir periode pemerintahan saat ini (eksekutif maupun legislatif), terkesan dengan tergesa-gesa mengejar ketertinggalan berbagai regulasi strategis, sayangnya akhirnya hal ini berdampak pada minimnya keterlibatan masukan dari publik, seperti yang terjadi pada RUU Pertanahan dan RUU Sumber Daya Air.
RUU Sumber Daya Air sendiri yang saat ini dikejar pengesahannya masih banyak diperdebatkan publik. Kami menilai bahwa pengesahan RUU SDA harus ditunda dengan melibatkan publik yang lebih luas, mengingat dalam sejarah MK, UU SDA pernah dibatalkan secara keseluruhan. Pada sisi lain draft Rancangan UU SDA yang terbaru belum disosialisasikan kepada publik dengan utuh. Banyak draft yang beredas masih merupakan draft lama.
Menimbang hal di atas, beberapa catatan atas RUU SDA diantaranya :
Pertama, Pengaturan RUU SDA masih sangat parsial dan memandang air sebagai komoditas, pengaturan ekosistem yang berpengaruh pada ekosistem air juga belum disinggung menyeluruh, padahal putusan MK menegaskan bahwa air merupakan hak masyarakat dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan hidup. Kami mengusulkan RUU ini disebut sebagai RUU Air, yang mengatur pengelolaannya secara komprehensif tidak parsial, dan memandang air dari segi komoditas dan pengusahaannya saja.
Kedua, RUU SDA harus selaras dengan UU 32 Tahun 2009 yang memberikan perlindungan bagi kualitas air. Kualitas air menjadi prasyarat mutlak bagi penyediaan air yang baik dan sehat. Keselarasan ini juga penting dilakukan dalam mekanisme pertanggungjawaban. Sehingga asas kehati-hatian dan asas pencemar membayar harus menjadi bagian dari RUU ini.
ketiga, penting tetap memasukkan poin biaya konservasi, sebagai bagian afirmatif untuk memastikan adanya tanggung jawab korporasi. Menyatukannya sebagai bagian dari Biaya Jasa Pengelolaan Sumberdaya Air (BJP-SDA), justru mengaburkan tanggung jawab korporasi. Merujuk pada UU tentang Konservasi Tanah dan Air, ”Konservasi Tanah dan Air adalah upaya pelindungan, pemulihan peningkatan, dan pemeliharaan..” . Pernyataan membandingkan biaya konservasi dengan kondisi keuangan perusahaan tidaklah tepat, mengingat dampak perubahan, ataupun kerusakan sebuah ekosistem air, tidak hanya akan diterima perusahaan, lebih jauh lagi dampak meluas akan diterima oleh masyarakat yang bergantung pada ekosistem air.
Keempat, RUU yang ada belum tegas melarang privatisasi air, tidak ada mandat evaluasi dan review perizinan terhadap pengusahaan air yang telah ada.
Mengingat hal di atas kami mendesak, seyogyanya pembahasan dan perubahan draft kebijakan yang cukup prinsipil, ditunda saat ini, terlebih RUU SDA sendiri masuk dalam perpanjangan pengesahan diantara 17 RUU lainnya. Pada sisi lain anggota DPR baru sudah diumumkan, jadi biarlah itu menjadi pekerjaan yg dilakukan DPR baru yang terpilih. Pada masa transisi seperti ini, legitimasi pada sebuah kebijakan menjadi sangat penting, sangat berisiko memaksakan sebuah regulasi disahkan pada masa transisi.
EKNAS WALHI, YLBHI, ICEL, YPPI, KRUHA
narahubung:
wahyu a perdana 082112395919
Eknas WALHI
Era Purnamasari 081210322745
YLBHI
sigit +6281318835393
KRUHA
Tunda Pembahasan RUU Sumber Daya Air