Siaran Pers
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Jakarta - Pada Senin, 20 Januari 2025, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyatakan bahwa terdapat Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang terbit di kawasan pagar laut Tangerang, Provinsi Banten. Menurut Menteri ATR/Kepala BPN, setidaknya terdapat 263 bidang tanah dalam bentuk SHGB dengan kepemilikan sebanyak 234 bidang tanah atas nama PT Intan Agung Makmur dan sebanyak 20 bidang tanah atas nama PT Cahaya Inti Sentosa serta 9 (sembilan) bidang tanah atas nama perorangan. Selain itu terdapat SHM sebanyak 17 bidang. Penerbitan sertifikat Hak Atas Tanah (HAT) dalam bentuk SHGB dan SHM kepada korporasi maupun perorangan di wilayah laut merupakan pelanggaran hukum. Pelanggaran atau malpraktik dalam proses penerbitan sertifikat tersebut harus diusut tuntas.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menelusuri dua perusahaan yaitu PT Intan Agung Makmur dan PT Cahaya Inti Sentosa yang mendapatkan SHGB dengan total sebanyak 254 bidang tanah. Berdasarkan penelusuran WALHI melalui dokumen akta perusahaan. Kedua perusahaan terindikasi berafiliasi dengan PT Agung Sedayu Group, sebuah korporasi pengembang properti raksasa. Afiliasi Agung Sedayu Group terlihat dari kepemilikan saham PT Agung Sedayu dan PT Pantai Indah Kapuk Dua. Selain kepemilikan saham dari PT Agung Sedayu dan PT Pantai Indah Kapuk Dua, afiliasi Agung Sedayu Group terlihat dari bercokolnya nama Belly Djaliel dan Freddy Numberi (Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan 2004-2009) sebagai Direktur dan Komisaris pada dua perusahaan tersebut. Dua nama perorangan tersebut merupakan pengurus pada beberapa entitas usaha Agung Sedayu Group.
Kepemilikan saham Agung Sedayu Group melalui entitas usaha dan orang-orang afiliasinya pada dua perusahaan pemegang SHGB di wilayah laut yang dipagari sepanjang 30 kilometer semakin menguatkan dugaan banyak pihak bahwa korporasi pengembang properti raksasa tersebut terlibat dalam kasus pemagaran laut. Pemagaran laut ini merupakan bentuk dari perampasan ruang laut (ocean grabbing) sebagaimana telah diserukan oleh WALHI terhadap proyek reklamasi di 28 Provinsi termasuk proyek pertambangan pasir laut.[1] Ocean grabbing mengacu pada perampasan penggunaan, kontrol atau akses terhadap ruang laut atau sumber daya dari pengguna sumber daya sebelumnya, pemegang hak atau penduduk. Perampasan laut terjadi melalui proses tata kelola yang tidak tepat dengan menggunakan tindakan yang merusak mata pencaharian masyarakat atau menghasilkan dampak yang merusak kesejahteraan sosial-ekologis. Perampasan laut dapat dilakukan oleh lembaga publik, kepentingan pribadi atau kepentingan sekelompok orang.
Pemagaran laut ini penting dilihat sebagai bagian dari PSN, meskipun dibantah oleh Pemerintah. Pada Oktober 2024 lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto mengeluarkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2024 tentang Perubahan Keenam Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional. Di dalam regulasi yang keluar sebelum Jokowi lengser menjelang akhir tahun lalu, disebutkan dengan jelas bahwa Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) masuk ke dalam PSN.
Sejak lama, PIK 2 telah menyebabkan hilangnya hutan mangrove,[2] menyebabkan banjir yang sangat parah sampai masyarakat tidak dapat menangkap ikan. Belum hilangnya sawah dan sungai serta, intimidasi dalam bentuk bentuk pemaksaan warga untuk menerima uang ganti rugi atau harga penjualan murah atas lahan mereka. Jika menolak warga mendapatkan intimidasi dari hingga kriminalisasi.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai bahwa terdapat potensi pelanggaran hukum terkait penerbitan sertifikat hak atas tanah di wilayah laut. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, ditegaskan bahwa pemberian hak pengusahaan atau konsesi agraria di perairan pesisir bagi para pengusaha adalah dilarang. Larangan tersebut bertujuan untuk mencegah pengkaplingan atau privatisasi yang dapat menimbulkan kerusakan ekosistem lingkungan, diskriminasi secara tidak langsung, menghilangkan hak tradisional yang bersifat turun-temurun, serta mengancam penghidupan nelayan tradisional, masyarakat adat, dan masyarakat lokal.
Lebih lanjut, Pasal 65 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 menyatakan bahwa pemberian hak atas tanah di wilayah perairan hanya dapat dilakukan setelah memperoleh perizinan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
Dengan demikian, merujuk pada pernyataan sebelumnya dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menyebut bahwa keberadaan pagar di atas laut di wilayah Tangerang tidak memiliki izin (ilegal), maka dapat disimpulkan bahwa terdapat potensi pelanggaran hukum dalam proses penerbitan sertifikat hak atas tanah tersebut.
Lebih rinci, UU Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 6 ayat 5 menyebut bahwa ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur dengan undang-undang tersendiri. Terkait dengan tata ruang pesisir dan laut diatur dalam UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 yang melahirkan turunan pengaturan ruang laut atau RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil) yang sekarang diintegrasikan dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah). Dalam Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 1 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Banten Tahun 2023-2043, disebutkan bahwa di wilayah ini diperuntukkan sebagai kawasan perikanan budidaya. Dengan demikian, penerbitan SHGB merupakan pidana tata ruang yang dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN sekaligus oleh sejumlah perusahaan yang nama-nama telah disebutkan di atas.
Atas terkuaknya aktor korporasi maupun perorangan pemegang SHGB dan SHM di wilayah laut yang dipagari tersebut, WALHI menuntut pemerintah untuk melakukan empat langkah mendesak. Pertama, mengevaluasi dan membatalkan pemberian hak atas tanah pada korporasi dan perorangan di atas wilayah laut Tangerang. Kedua, mengusut pelanggaran hukum pada proses pemberian hak atas tanah yang melibatkan para mafia tanah baik penerbit maupun pemegang sertifikat. Ketiga, menghentikan upaya reklamasi pada wilayah pesisir dan laut Banten karena menutup akses ke sumber penghidupan masyarakat pesisir dan merusak lingkungan di sumber material pengurukan lahan. Keempat, membatalkan Proyek Strategis Nasional (PSN) PIK 2 karena dijalankan dengan praktik pelanggaran hukum yang terstruktur, sistematis dan masif.
Narahubung:
WALHI (+628115501980)
Catatan Tambahan:
PT Cahaya Inti Santosa
Pemegang saham: PT Pantai Indah Kapuk Dua, PT Agung Sedayu, PT Tunas Mekar Jaya. Komisaris: Kho Ching Siong, Freddy Numberi. Direksi: Nono Sampono. Belly Djaliel, Surya Pranoto Budiharjdo, Yohanes Edmon Budiman.
PT Intan Agung Makmur
Pemegang Saham: PT Kusuma Anugrah Abadi dan PT Inti Indah Raya. Komisaris: Freddy Numberi. Direksi: Belly Djaliel.
Data AHU Perusahaan diakses 20 Januari 2025 pukul 13.00 WIB.
[1] Negara Melayani Siapa? Potret Ocean Grabbing di Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil dalam 28 RZWP3K di Indonesia, (Jakarta: WALHI, 2023) di tautan: https://www.walhi.or.id/uploads/buku/Negara%20Melayani%20Siapa_rev_compressed.pdf
[2] Kala Hutan Mangrove Pesisir Tangerang Terbabat jadi Pemukiman Mewah: https://www.mongabay.co.id/2024/04/24/kala-hutan-mangrove-pesisir-tangerang-terbabat-jadi-pemukiman-mewah/