WALHI bersama Akademisi dan Masyarakat Pesisir Sampaikan Kritik terhadap Ekonomi Biru

Siaran Pers

Serang, 04 Juni 2024 – Menjelang peringatan Hari Lingkungan Hidup sedunia yang jatuh pada 5 Juni 2024, dan Hari Laut sedunia yang jatuh pada 8 Juni 2024, WALHI menyelenggarakan peluncuran dan bedah buku Ekonomi Nusantara Antitesis Ekonomi Biru: Sebuah Kajian Ekonomi Politik yang bertempat di Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin (SMH) Serang, Banten.

Buku Ekonomi Nusantara Antitesis Ekonomi Biru merupakan buah pikiran bersama Muhamad Karim, dosen Universitas Trilogi Jakarta, dengan Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir, Laut, dan Pulau-pulau kecil, Eksekutif Nasional WALHI. Latar belakang penulisan buku ini lahir karena wacana ekonomi biru di Indonesia dianggap netral dan atau tidak mendapatkan kritik signifikan terhadap asumsi filosofis termasuk kepentingan ekonomi politik di baliknya.

Sejauh ini, terdapat dokumen resmi pemerintah yang terkait langsung dengan ekonomi biru, sebagai berikut: (1) infrastruktur pendukung ekonomi biru yang tercantum dalam RPJMN 2020-2024; (2) Perpres Nomor 34 Tahun 2022 tentang Rencana Aksi Kebijakan Kelautan Indonesia Tahun 2021-2025; (3) pemberian insentif melalui kredit bagi UMKM sektor ekonomi biru hingga penerbitan blue bond di pasar obligasi Jepang; (4) Blue Economy: Development Framework for Indonesia’s Economic Transformation, 2021; (5) Blue Economy Roadmap pada Juli 2023;

M. Karim, menjelaskan fenomena yang menyatakan bahwa ekonomi biru sebagai obat mujarab mengatasi paradoks antara pertumbuhan (growth) dan keberlanjutan (sustainability) tidak selamanya benar secara praksis. Ekonomi biru sejatinya hanyalah metamorfosis dari kapitalisme neoliberal yang digunakan untuk mengeksploitasi sumber daya kelautan.

Di balik paradigma ekonomi biru yang kini diadopsi PBB bercokol lembaga keuangan internasional (Bank Dunia, ADB dan IMF) serta NGO internasional yang ikut mempengaruhi kebijakan dan regulasi kelautan suatu negara. Bahkan Lembaga-lembaga tersebut menggelontorkan utang berbentuk skema blue finance (utang biru) dan blue bond (surat utang biru) bagi negara-negara berkembang. “Sepanjang 2013-2017, total perkiraan pembiayaan publik bersumber dari Green Climate Fund (GCF), Global Environmental Facility (GEF), dan Bank Dunia buat mendukung konservasi laut dan aksi iklim mengalami lonjakan drastis dari U$D500 juta menjadi U$D2 miliar. “Oleh karena itu, sejumlah pakar menyebut blue economy sebagai “blue neocolonialism”, kata Karim.

Dia menjelaskan pengalaman sejumlah negara yang menerapkan ekonomi biru. Di Zanzibar, Tanzania, dan Chile, ekonomi biru melahirkan diskriminasi gender yang meminggirkan partisipasi perempuan dalam tata kelola perikanan melalui ketidakadilan prosedural pada perikanan skala kecil.

Selanjutnya, di negara Palau dan Pohnpei, ekonomi biru menyebabkan tragedi komoditas yang menyebabkan tingkat deplesi stok teripang, masyarakat pesisir kehilangan hak kelola, kesenjangan dan kemiskinan meningkat serta krisis ekologi, dan perubahan iklim kian masif. Di Papua Nugini, ekonomi biru terbukti menggerus makna geo-spiritual masyarakat pulaunya; mengganggu keberlanjutan mata pencaharian masyarakat pulau, degradasi sumber daya alam dan kerusakan ekologi pulau kecil.

Sementara itu, di Namibia, ekonomi biru hanya menjadi justifikasi proyek-proyek pertambangan laut dalam, mendorong degradasi lingkungan dan dampak sosial yang negatif, utamanya terhadap mata pencaharian dalam sektor perikanan Namibia. Di Seychelles, sebuah negara Afrika di Samudera Hindia, ekonomi biru menyebabkan industri perikanan tunanya dikuasai armada Uni Eropa serta perikanan skala kecil hingga masyarakat adat terpinggirkan.

Respon Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
Direktur Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perencanaan Pembagunan Nasional/Bappenas Mohamad Rahmat Mulianda, M.Mar., menjelaskan bahwa ekonomi biru tidak hanya mencakup “economy”, tetapi juga green economy in a blue world yang mengandung makna sustainable blue economy termasuk di dalamnya terdapat pengertian ocean economy atau maritime economy.

“Di dalam narasi yang dikembangkan oleh Bappenas, ekonomi biru melihat dan memposisikan laut sebagai natural capital, pendorong inovasi, sumber penghidupan, dan sebagai good business,”. Kata Rahmat.

Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa dalam peta jalan ekonomi biru Indonesia 2023-2045, sasaran utamanya adalah luas kawasan konservasi perairan mencapai 30 persen atau 9,75 juta hektar (ha) pada 2045. Tak hanya itu, mendorong peningkatan lapangan kerja kemaritiman 12 persen.

Dalam catatan Rahmat, ekonomi biru diperlukan karena kontribusi kelautan dan perikanan dianggap masih sangat rendah, sehingga perlu memperkuat sektor-sektor prioritas, di antaranya perikanan tangkap dan budidaya, industri manufaktur berbasis kelautan, wisata bahari, serta perdagangan, transportasi, dan logistik maritim.

“Tak hanya itu, sektor-sektor lain akan terus didorong, terutama energi terbarukan, bioteknologi dan bioekonomi, penelitian dan pendidikan, serta konservasi dan jasa ekosistem laut,” jelasnya.

Pada masa yang akan datang, peningkatan kontribusi produk domestik bruto (PDB) kemaritiman akan didorong sebesar 15 persen dari yang asalnya hanya tercatat 7,6 persen pada 2021.

Respon dari Ahli Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Dr. Suhana, Ahli ekonomi Kelautan dan Perikanan yang juga Wakil Rektor Universitas Teknologi Muhammadiyah (UTM) Jakarta, menjelaskan bahwa secara konseptual, wacana ekonomi biru dipercakapkan sekitar tahun 2012 sebagai pendekatan yang sejajar dengan ekonomi hijau (ekonomi yang bertujuan untuk pembangunan berkelanjutan tanpa merusak lingkungan). Istilah ini adalah bagian dari inisiatif oleh Small Island Developing States (SIDS) untuk membawa perhatian pada upaya mereka untuk menentukan sendiri tujuan dan strategi pengembangan yang sesuai dengan perspektif dan lingkungan alam mereka.

Namun, seiring berjalannya waktu, diskusi kebijakan seputar ekonomi biru telah meningkat secara dramatis, dengan istilah tersebut sekarang menjadi salah satu yang paling dikenal sekaligus kabur di bidang tata kelola laut dan pesisir, pembangunan, dan penelitian.

“Satu hal yang sangat ironis adalah saat narasi ekonomi biru dikembangkan, banyak perairan pesisir masih didominasi oleh ekonomi coklat (brown economy), yang merupakan sumber polutan dari aktivitas di pelabuhan, budidaya perikanan, pertambangan, dan industri perikanan. ekonomi coklat bergantung pada 'ekstraktivisme', di mana sumber daya di laut dan pesisir terus terdegradasi, sementara perusahaan besar yang berbasis pada modal untuk mendapatkan keuntungan,” tegasnya.

Di antara kritik penting terhadap ekonomi biru yang mendorong pertumbuhan biru, kata Suhana, adalah dimensi keadilan, keberlanjutan sosial, distribusi manfaat, dan dan inklusivitas. Hilangnya aspek-aspek ini, telah menyebabkan kritik yang sangat besar terhadap ekonomi biru.

Lebih jauh, ekonomi biru justru mengakibatkan dua hal, yaitu: peminggiran hak-hak masyarakat pesisir dan pulau kecil, khususnya nelayan dan perempuan nelayan; serta mendorong terjadinya tragedi komoditas, Di mana eksploitasi komoditas tertentu terus terjadi tetapi pada saat yang sama terjadi perusakan lingkungan dan pelanggan kemiskinan di wilayah tempat komoditas itu dieksploitasi. Dia menyebutkan sejumlah contoh yang saat ini terjadi, di antaranya penambangan pasir laut serta eksploitasi benih lobster untuk diekspor ke Vietnam.

Tidak sejalan dengan hak-hak Masyarakat pulau kecil
Dalam kesempatan ini, hadir dua orang tokoh masyarakat yang merupakan penduduk pulau kecil, satu berasal dari Pulau Pari Jakarta, dan satu lagi berasal dari Pulau Sangiang Banten. Sufyan Tsauri, yang berasal dari Pulau Sangiang menjelaskan bahwa ia sebagai Masyarakat yang hidup di pulau kecil tidak memahami apa itu ekonomi biru. Pada saat yang sama, ia bersama puluhan orang di Pulau Sangiang menghadapi ekspansi perusahaan pariwisata yang mengancam ruang hidupnya, baik di darat maupun di laut. “Artinya, apa yang dibicarakan oleh para pemangku kebijakan tidak sejalan dengan apa yang dihadapi oleh masyarakat di tingkat bawah,” katanya.

Ia menginginkan pemerintah Indonesia hadir membela hak masyarakat yang terus terancam. “Jumlah kami dulu tercatat sebanyak 220 keluarga, kini hanya tersisa 43 keluarga. Kami terus berkurang akibat ekspansi industri pariwisata, sementara pemerintah terus mendorong pariwisata skala besar, khususnya di Pulau Kecil,” tegasnya.

Sementara itu, Mustagfirin yang berasal dari Pulau Pari menyebutkan bahwa di tengah gegap gempita narasi ekonomi biru, dirinya dengan ratusan keluarga di Pulau sampai saat ini terus terancam oleh perusahaan pariwisata yang ingin menguasai seluruh lahan di Pulau Pari. “Saya pernah dipenjara selama 7 bulan karena dikriminalisasi oleh perusahaan pariwisata yang ingin menguasai Pulau Pari. Saya harus melawan dan memperjuangkan hak saya,” tuturnya.

Tak hanya itu, pada saat pemerintah memperbesar narasi ekonomi biru, Pulau Pari terus terancam oleh krisis iklim yang mengakibatkan hilangnya luasan pulau sebanyak 11 persen dari sebelumnya. Banyak perekonomian warga hancur akibat banjir rob yang terus menerjang pulau.

“Saya kehilangan tangkapan lebih dari 70 persen, teman-teman saya mengalami kehancuran perikanan budidaya dan budidaya rumput laut, air tanah kami untuk minum semakin asin akibat intrusi air laut, serta masa depan anak-anak kami terancam. Lalu, sebanyak 6 pulau kecil di Kepulauan Seribu telah tenggelam,” kata Bobi.

Anehnya, tambah Bobi, dalam situasi krisis iklim pemerintah tidak melakukan apa-apa. yang terjadi, empat warga Pulau Pari mengambil inisiatif untuk menggugat Holcim, Perusahaan semen terbesar di dunia yang bermarkas di Swiss. Sampai saat ini, empat orang Pulau Pari tetap berjuang merebut keadilan iklim di pengadilan Zug, Swiss.

“Kami semakin aneh ketika pemerintah Indonesia tidak memberikan dukungan apapun terhadap upaya kami melawan Holcim. Saya ingin menyatakan bahwa Pemerintah seharusnya malu karena tidak mendukung perlawanan terhadap Perusahaan pencemar planet bumi,” imbuhnya.

Ekonomi Biru langgengkan perampasan ruang laut
Manajer Kampanye Pesisir, Laut, dan Pulau-Pulau kecil Eksekutif Nasional WALHI, Parid Ridwanuddin menyampaikan bahwa ekonomi biru bukanlah solusi untuk tata kelola laut di Indonesia, mengingat secara mendasar laut di Indonesia masih diposisikan sebagai ruang kompetisi terbuka (mare liberum). Doktrin mare liberum atau Laut Bebas digagas–yang oleh Hugo de Groot alias Hugo Grotius, seorang ahli hukum Belanda–dipadukan dengan ekonomi pasar modern, sesungguhnya mendorong terjadinya eksploitasi berlebih pada sumber daya laut.

Lebih lanjut, Parid menguraikan, doktrin mare liberum menjadi dasar dari konsep laut sebagai open acces, di mana laut diposisikan sebagai ruang kompetisi antara nelayan atau masyarakat dengan industri skala besar, kontrol dan akses tidak diberikan kepada masyarakat pesisir, siapa pun yang memiliki power dapat mengeksploitasi sumber daya di wilayah tersebut.

“Dalam situasi ini, ruang tangkap nelayan tradisional tidak mendapatkan pengakuan, terutama dalam peraturan perundangan. Pemerintah lebih memprioritaskan untuk memberi akses yang terbuka kepada siapa pun atas dasar siapa kuat (secara finansial). Kondisi ini mengakibatkan apa yang disebut sebagai “tragedi kepemilikan bersama” (tragedy of the commons), kata Parid. 

Di Indonesia ekonomi biru telah dan sedang mendorong dan mempercepat perampasan ruang laut atau ocean grabbing. “Istilah ocean grabbing digunakan untuk menyoroti proses dan dinamika penting yang berdampak negatif terhadap keberlanjutan sumber daya laut, sekaligus keberlanjutan hidup masyarakat yang cara hidup dan identitas budaya serta mata pencahariannya bergantung pada penangkapan ikan skala kecil,” urai Parid.

Aktor utama ocean grabbing, kata Parid, adalah pemerintah, lembaga di tingkat regional dan atau internasional, organisasi lingkungan internasional, perusahaan skala besar, dan yayasan filantropi. beragam lembaga ini merupakan aktor utama yang mendorong reformasi dan kebijakan berbasis pasar yang pada akhirnya memungkinkan terjadinya perampasan laut. Dalam praktiknya, proses ini terkadang menggunakan pemaksaan melalui lembaga keamanan untuk menegakkan kepatuhan.

“Perampasan laut terjadi melalui proses tata kelola yang tidak tepat dengan menggunakan tindakan yang merusak mata pencaharian masyarakat atau menghasilkan dampak yang merusak kesejahteraan sosial-ekologis,” jelas Parid.

Dalam situasi semacam ini, ekonomi biru justru menambah persoalan baru daripada menyelesaikan masalah tata kelola sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia. “Pada titik ini, Pemerintah Indonesia seharusnya kembali pada konsep ekonomi yang dimandatkan oleh konstitusi Republik Indonesia, bukannya silau dengan ekonomi biru yang sangat bias kepentingan negara-negara utara. WALHI menyebut ekonomi berbasis konstitusi itu sebagai ekonomi Nusantara,” pungkas Parid. (*)

 

Informasi lebih lanjut
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, di email [email protected]