WALHI dan DMC Dompet Dhuafa Kerja Sama Dorong Perlindungan dan Pemulihan Pesisir-Pulau Kecil dari Ancaman Bencana Iklim

Siaran Pers

Jakarta, 8 Juli 2024 — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) bersama Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa menandatangani kerja sama perlindungan, pemulihan dan pelestarian pesisir serta pulau kecil di seluruh wilayah Indonesia yang dilaksanakan pada Senin (08/07/2024) di Pulau Pari, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta.

Agenda perlindungan, pemulihan dan pelestarian pesisir serta pulau kecil di seluruh wilayah Indonesia ini, dimulai dari Pulau Pari, Jakarta, dengan cara menanam 1.000 bibit mangrove, dan akan berlanjut ke pesisir utara Pulau Jawa, serta akan diteruskan ke provinsi lain di Indonesia.

Kerja sama ini dibangun dalam rangka menginisiasi gerakan kolaborasi untuk menguatkan serta mendukung penguatan kampanye advokasi lingkungan hidup guna mendapatkan dukungan publik seluas-luasnya. Adapun isu kunci yang menjadi arus utama dalam kerja sama ini adalah perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup, khususnya di pesisir-pulau kecil; mitigasi dan adaptasi krisis iklim; dan konservasi alam di wilayah Indonesia.

Dalam kesempatan ini hadir Deputi Direktur 1 Program Sosial Budaya Dompet Dhuafa, Juperta Panji Utama. Menurutnya, Pari Pulau itu dekat dengan pusat mantan ibukota negara Indonesia, Jakarta, di mana segala kekuasaan, pusat kebijakan, keputusan negara Indonesia. “Jika kebijakan yang dekat dengan pusat kebijakan saja tidak berpihak pada kepentingan masyarakat bisa dibayangkan mungkin ada hal-hal serupa di tempat yang lebih jauh lagi,” tegasnya.

Panji mengatakan abrasi pantai-pantai di Pulau Pari sudah sangat tinggi sekali. Selain itu perjuangan rakyat Pulau Pari untuk mengelola lingkungannya secara mandiri. Panji mengatakan kerja sama dengan Walhi untuk pengendalian abrasi pesisir Utara Laut Jawa ini dilakukan selama lima tahun. “Setiap tahun kami evaluasi, kalau bisa kerja samanya terus, tapi kita jangan terbatas pada waktu tapi pada bagaimana kami mencapai tujuan-tujuan yang ingin kami capai,” kata Panji.

Ia mengatakan Dompet Dhuafa berharap dapat bekerja sama dengan lebih banyak pihak lain, tapi juga pemerintah dan masyarakat yang terdampak kerusakan lingkungan serta krisis iklim. “Semua pihak harus terlibat, semua pihak harus menyatu dan melihat bahwa ini adalah musuh bersama kita,” katanya.

Dalam sambutannya, Direktur Eksekutif Walhi Nasional Zenzi Suhadi mengatakan kerja sama ini merupakan persatuan antara dua gerakan yang memobilisasi nilai dan moral kemanusiaan dan gerakan yang melindungi memajukan hak manusia atau lingkungan.

Zenzi mengatakan filosofi Dompet Dhuafa yang ia tangkap adalah menghimpun dan mengarahkan sumber daya manusia untuk memelihara dan memajukan nilai-nilai moral kemanusiaan dan termasuk lingkungan.

Ia mengatakan pertemuan dua gerakan ini, berpotensi menjadi cikal bakal membangun nilai-nilai universal dan moral manusia di masa depan itu sangat terbuka besar. “Ketika kita berhasil menerjemahkan apa yang kita tandatangani hari ini bukan hanya pertemuan dua coretan tangan pemimpin organisasi,” katanya.

“Kami memaknai pertemuan dua organisasi ini sebagai perkawinan antara dua anggota gerakan yang memobilisasi nilai dan moral kemanusiaan dan gerakan yang melindungi memajukan hak manusia atau lingkungan maka kita akan melahirkan satu hal bahwasanya orang lahir di manapun, berdiri di pulau manapun dia mempunyai hak terhadap semua yang ada di muka bumi ini,” tambahnya.

Zenzi mengatakan kehancuran di muka bumi ini karena hak manusia atas lingkungan disekat batas kekuasaan negara padahal tidak ada satu pun di negara muka bumi ini yang akan mampu menangani, mengatasi persoalan lingkungan. Ia mencatat sudah hampir 30 tahun seluruh negara anggota PBB membicarakan perubahan iklim.

“Saat para pemimpin dunia itu bertemu selama 30 tahun lamanya, selama itu juga pelepasan emisi meningkat, perubahan iklim meningkat suhu rata-rata harian bumi meningkat,” katanya.

Artinya, kata Zenzi, masyarakat tidak bisa menggantungkan harapan keselamatan bumi dan hak generasi berikutnya pada kepemimpinan politik. Masyarakat hanya bisa menggantungkan harapan keselamatan bumi dan hak antar generasi itu kepada kesadaran publik secara luas.

Menurutnya pertemuan antara Walhi dan Dompet Dhuafa akan melahirkan jembatan di mana publik bisa terlibat menyelamatkan alam. Ia berharap kerja sama ini menjadi momentum yang harus dirawat.

“Saya juga mengusulkan di tahun depan pada tanggal yang sama di tempat yang sama kita mengulangi lagi pertemuannya tetapi dengan skala yang lebih besar," katanya.

 

Kenapa Berawal dari Pulau Pari?

Ketua Kelompok Perempuan Pulau Pari, Asmania mengatakan bahwa pengelolaan pantai dan kebun di Pulau Pari merupakan bentuk perjuangan warga. Sebelumnya, saat dahulu membuka lahan menuju Pantai Rengge (wilayah yang menjadi lokasi penanaman mangrove), warga kerap diintimidasi perusahaan.

“Perjuangan kami telah berlangsung sejak tahun 2014 sampai saat ini. Kami masih tetap berjuang untuk ruang hidup dan kehidupan kami disini. Yang bisa kami lakukan adalah gerakan seperti selama ini,” uangkapnya.

Asmania juga menambahkan, saat ini kami sudah mengalami dampak krisis iklim yang sangat parah. Menurutnya, krisis iklim telah mengakibatkan abrasi di Pantai Rengge kian memburuk. Pohon-pohon di pinggir pantai tumbang. “Ada kesedihan ketika melihat situasi yang terjadi di sini. Mungkin saat ini masih tetap ada, tetapi kami tidak tahu bagaimana nasibnya 10 atau 15 tahun lagi ini ke depan," katanya

Ia menyampaikan ucapan terima kasih atas dukungan yang terus mengalir dari banyak pihak, termasuk Walhi dan DMC Dompet Dhuafa. “Terima kasih kepada kawan-kawan yang sudah berkontribusi untuk hari ini penanam mangrove. Terima kasih sudah mempercayakan kepada kami warga Pulau Pari," tambahnya.

Asmania menggarisbawahi perjuangan kelompok perempuan di Pulau Pari melawan perampasan tanah oleh perusahaan dan krisis iklim adalah bukti nyata kontribusi perempuan terhadap keadilan dan kelestarian alam. Dirinya menegaskan bahwa pengelolaan lingkungan Pantai Rengge dan Pulau Pari secara keseluruhan oleh kelompok perempuan bukan hanya untuk warga tapi juga untuk anak cucu generasi mereka berikutnya. “Kami hanya ingin hidup tenang dan damai di Pulau Pari. Karena kami sudah sejahtera dengan laut kami. Dan berharap laut serta daratan kami akan baik-baik saja. Kami ingin keadilan antar generasi terwujud di Pulau ini dan seluruh pulau di Indonesia,” katanya.

Pulau Pari merupakan salah pulau kecil di Kepulauan Seribu yang luasnya tidak lebih dari 42 hektar. Pulau ini dihuni oleh lebih dari 400 keluarga yang rata-rata bekerja sebagai nelayan dan atau pegiat pariwisata. Sejak lama, Pulau Pari telah terdampak oleh krisis iklim. Pulau Pari semakin sering dihantam banjir rob, kenaikan air laut, cuaca ekstrim, serta tingginya gelombang. Semuanya telah memperburuk kehidupan sosial ekonomi masyarakat Pulau Pari.

Walhi bersama HEKS (sebuah lembaga yang berada di Zurich, Swiss) telah mengkalkulasi hilangnya luasan Pulau Pari sebesar 11 persen, atau seluas 4,6 hektar. Sebelumnya, Pulau Pari tercatat seluas 42 hektar. Namun kini hanya tinggal persen 41,4 hektar.

Dampak lainnya dari krisis iklim di Pulau Pari adalah hilangnya hasil tangkapan ikan secara drastis, di mana laut saat ini sudah tidak lagi bersahabat. Nelayan telah kehilangan tangkapan lebih dari 70 persen jika dibandingkan dengan sebelum terdampak krisis iklim.

Krisis iklim juga memicu banyak jenis ikan laut, - di antaranya ikan kerapu dan ikan cakalang,- sulit ditemukan karena temperatur laut yang semakin menghangat. Lebih jauh, krisis iklim telah menyebabkan banjir rob semakin sering terjadi di Pulau Pari. Akibatnya, banyak wisatawan yang membatalkan kunjungan wisatanya.

“Situasi tersebut menjadi pukulan keras bagi ekonomi kami yang tergantung pada sektor perikanan dan pariwisata yang selama ini menjadi income utama Pulau Pari,” kata Mustaghfirin, Ketua Forum Peduli Pulau Pari, sekaligus penggugat Holcim.

Terkait dengan banjir rob, Arif Pujiyanto (warga Pulau Pari di Pantai Bintang), pulau ini sering diserang banjir rob pada malam hari. Ia menyebut, banyak anak-anak yang trauma karena banjir rob yang intensitasnya terus meningkat sejak tahun 2020. “Tak sedikit anak-anak di Pulau Pari mengalami ketakutan dan trauma akibat banjir rob. Mereka tak bisa masuk sekolah karena kesehatan fisik dan psikisnya terganggu,” ungkapnya.

Banjir yang datang pada malam hari telah merusak rumahnya secara permanen. Ia harus memperbaiki rumahnya sendiri dan mengeluarkan uang sekitar Rp3.000.000 untuk memulihkan kerusakan rumahnya.

Tak hanya itu, keluarga Arif juga harus membeli lebih banyak air, karena air sumur yang ada di rumahnya telah terintrusi air laut. “Untuk mencuci diri, pakaian, untuk membersihkan kami tidak dapat menggunakan air sumur akibat banjir rob yang merendam selama beberapa hari. Sejak itu, kami harus membeli lebih banyak air dari penyulingan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” tegasnya.

Sementara itu, Edi Mulyono, nelayan sekaligus pelaku pariwisata, menyatakan ia bersama kawan-kawan lainnya seringkali mengalami kerugian ekonomi karena banjir rob. Ratusan wisatawan yang akan datang ke Pulau Pari mendadak membatalkan rencana kunjungannya karena situasi yang tidak memungkinkan.

Edi Mulyono, menyebut telah kehilangan pendapatan dari homestay dan pendapatan pariwisata. Para wisatawan telah membatalkan perjalanannya karena khawatir akan terjadi banjir rob. “Saya mengalami kerugian Rp5.500.000 akibat banjir rob pada November dan Desember 2021,” ungkap Edi.

Ia juga tak tidak bisa menangkap ikan, akibat banjir rob dan harus membersihkan Pulau. Akibatnya, ia kehilangan penghasilan sekitar Rp1.750.000.

Asmania, seorang perempuan nelayan sekaligus ketua dewan Pulau Pari, menyebut bahwa krisis iklim telah memaksa perempuan di Pulau Pari memiliki beban berlapis karena harus bekerja lebih keras memenuhi kebutuhan keluarga. Ia mengakui mengalami kerugian besar pada sektor perikanan budidaya akibat pemanasan air laut.

“Dulu saya biasanya panen itu 30-50 juta tapi sekarang tidak bisa menghasilkan yang banyak panen ikan kerapunya, karena air laut yang terjadi sekarang itu cukup panas jadi ikan-ikan banyak yang mati, itu juga yang membuat perekonomian saya keluarga semakin turun,” ungkapnya.

Selain menghadapi ancaman krisis iklim, Pulau Pari juga menghadapi ancamannya lainnya yaitu perampasan pulau yang dilakukan oleh PT Bumi Pari Asri yang mengklaim kepemilikan pulau sebesar 90 persen. PT Bumi Pari Asri merupakan anak perusahaan dari PT Bumi Raya Utama Group, yang dimiliki oleh konglomerat bernama Adijanto Priosoetanto.

Perusahaan tersebut terbukti telah melakukan intimidasi selama kurun waktu 2016. Intimidasi yang dimaksud antara lain: somasi kepada warga, larangan warga mendirikan/merenovasi rumah, memaksa warga menandatangani surat pernyataan, dan menyurati warga untuk bekerja sama.

Bahkan, tiga orang warga Pulau Pari, yaitu Mustaghfirin alias Bobi, Mastono alias Baok, Bahruddin alias Edo, mengalami kriminalisasi dan dipenjara akibat melawan perusahaan tersebut.

“Dengan demikian, kerja sama antara Walhi dan DMC Dompet Dhuafa diharapkan akan memperkuat masyarakat Pulau Pari dalam menghadapi ancaman krisis iklim dan perampasan ruang hidup oleh PT Bumi Pari Asri,” tegas Bobi.

 

Pesan untuk Mewujudkan Keadilan Iklim

Sebagaimana diketahui dampak krisis iklim secara global membuat suhu bumi melebihi 1,5 derajat celcius dibandingkan dengan era pra revolusi Industri dan memicu bencana iklim di Indonesia yang semakin buruk dari waktu ke waktu. Apa yang terjadi di Pulau Pari terjadi juga di tempat lain.

Berdasarkan kajian Walhi, krisis iklim di wilayah pesisir telah mengakibatkan sejumlah berikut:

Pertama, tenggelamnya desa-desa pesisir di Indonesia. Setiap tahun, 1 hektar tanah hilang di sepanjang kawasan pesisir Demak, Jawa Tengah, akibat meningkatnya permukaan air laut. Desa pertama yang mulai tenggelam akibat abrasi adalah dukuh Tambaksari, dukuh ini mulai abrasi dari tahun 1997. Saat ini masih ada 9 kepala keluarga dengan total 45 jiwa yang masih bertahan hidup. Desa kedua yang mulai terdampak abrasi adalah dukuh Rejosari Senik mulai terendam air sejak tahun 2000. Setelah warga menuntut relokasi pada tahun 2005, mereka dipindahkan ke Desa Gemulak dan Sidogema di Kecamatan Sayung. Meski demikian, masih ada satu kepala keluarga dengan total 5 jiwa yang bertahan hidup sampai sekarang. Dukuh ketiga Bedono juga mulai tergenang air tahun 2005, pada tahun tahun 2010 menyusul dua dusun tergenang air, yaitu dusun Mondoliko dengan total warga yang masih bertahan 95 kepala keluarga dan dusun Timbulsloko dengan total warga yang masih bertahan 150 kepala keluarga.

Pada masa yang akan datang, lebih dari 12 ribu desa pesisir di Indonesia akan terancam tenggelam akibat kenaikan air laut yang disebabkan oleh krisis iklim. Sepanjang tahun 2017 sampai dengan tahun 2020, Walhi mencatat sebanyak 5.416 desa pesisir yang tenggelam karena banjir rob.

Kedua, tenggelamnya kota-kota pesisir di Indonesia. Sebanyak 199 kota atau kabupaten yang berada di kawasan pesisir di Indonesia akan terkena banjir rob tahunan pada 2050. Dampaknya, sekitar 118.000 hektar wilayah akan terendam air laut. Menurut catatan Pusat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kompas, sebanyak 23 juta warga terdampak. Bahkan, kerugian ekonomi diperkirakan mencapai Rp1.576 triliun. Sebanyak 567 dari 515 kota atau kabupaten di Indonesia, berada di kawasan pesisir.

Ketiga, hancurnya kehidupan ekonomi nelayan serta jumlah nelayan meninggal di laut lebih banyak. Berdasarkan catatan Walhi, dalam satu tahun nelayan hanya bisa melaut selama 6 bulan. 6 bulan sisanya harus alih profesi menjadi kuli kasar atau pedagang asongan. Setiap tahun, (rata-rata) 100 nelayan hilang/meninggal di laut akibat melaut pada saat cuaca yang tidak menentu. Jumlah nelayan yang meninggal di laut terus mengalami peningkatan sepanjang tahun 2010-2020. Tahun 2010 jumlah nelayan yang meninggal tercatat sebanyak 87 orang. Namun pada tahun 2020, jumlahnya meningkat menjadi 251 orang.

Situasi genting akibat krisis iklim ini terbukti telah memperburuk kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil, serta perempuan nelayan di Indonesia. Dalam jangka panjang, dampak buruk krisis iklim akan memaksa lebih dari 23 juta orang masyarakat pesisir harus mengungsi dari kampung halamannya pada tahun 2050. Inilah yang dinamakan dengan pengungsi iklim (climate refugee).

Peluncuran kerja sama ini merupakan ajakan bagi seluruh lapisan masyarakat untuk terlibat aktif mewujudkan keadilan iklim, melindungi, memulihkan, serta melestarikan Wilayah Kelola Rakyat (WKR). Pada saat yang sama, kerja sama ini diharapkan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat dan berbagai pihak untuk lebih perhatikan lingkungan hidup di sekitarnya. Mampu menciptakan masyarakat tangguh hadapi krisis iklim dan terbebas dari ancaman bencana. (*)

 

Informasi lebih lanjut
Melva Harahap, Manajer Pencegahan dan Penanganan Bencana, Eksekutif Nasional WALHI, di nomor 081264430707
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir, Laut, dan Pulau Kecil, Eksekutif Nasional WALHI, di nomor 0812-3745-4623
Ahmad Baihaqi, Manajer Kesiapsiagaan dan Mitigasi Adaptasi Perubahan Iklim, Disaster Management Centre Dompet Dhuafa, di nomor 0821-1280-3131
Suci Fitriah Tanjung, Direktur WALHI Jakarta, di nomor 0856-1111-356
Mustagfirin, Ketua Forum Peduli Pulau Pari, di nomor 0857-8161-9276
Asmania, Ketua Kelompok Perempuan Pulau Pari, di nomor 0878-8504-2731

Untuk tautan foto, silakan klik:
https://drive.google.com/drive/folders/1-AqwWf_11BQOw30QZAbUuC1VzI5uTJE6

dan atau tautan ini:
https://drive.google.com/drive/folders/1pSXVz3j6B68Y3x5NO1aCl_q1Z_kAl57L?usp=sharing