slot terbaikcapcut88pastigacor88slot thailandslot pulsaslot pulsaslot gacor hari inislot pulsaslot danaslot gacor hari inislot gacor gampang menangslot gacor maxwinslot gacor 2024slot gacor resmislot pulsaslot gacor 2024slot gacor hari inislot gacor terbaikslot pulsaslot gacor terbaikslot gacor hari inislot danaslot gacor terpercaya
WALHI Gugat Gubernur Aceh Terkait Penerbitan IPPKH PLTA Tampur – I | WALHI

WALHI Gugat Gubernur Aceh Terkait Penerbitan IPPKH PLTA Tampur – I

Banda Aceh, PT. Kamirzu akan membangun mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur – 1 dengan kapasitas produksi 443 MW, di Desa Lesten, Kabupaten Gayo Lues. PT. Kamirzu yang merupakan perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) akan menggunakan area seluas ± 4.407 ha, yang terdiri dari Hutan Lindung (HL) 1.729 ha, Hutan Produksi (HP) 2.401 ha, dan Area Penggunaan Lain (APL) 277 ha. Gubernur Aceh menerbitkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), melalui surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor 522.51/DPMPTSP/1499/IPPKH/2017 tentang Pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Dalam Rangka Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I (443 MW) Seluas ± 4.407 Ha Atas Nama PT. KAMIRZU di Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tamiang, dan Kabupaten Aceh Timur Provinsi Aceh tanggal 09 Juni 2017. Atas penerbitan IPPKH tersebut, WALHI Aceh telah melakukan upaya administratif dengan menyurati Gubernur Aceh untuk menyampaikan keberatan terhadap IPPKH, namun Gubernur Aceh tidak menanggapi dan/atau memberikan jawaban terkait keberatan yang disampaikan WALHI Aceh. Kemudian WALHI Aceh melakukan upaya banding administratif kepada pemerintah pusat, belum juga memberikan tanggapan terkait dengan Banding Administratif yang diajukan WALHI Aceh. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administratif Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya Administratif menyebutkan: Pihak Ketiga yang berkepentingan yang dirugikan oleh keputusan upaya administratif dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan hasil tindak lanjut upaya administratif tersebut. Pada 11 Maret 2019, WALHI bekerjasama dengan HAkA mengganding sembilan orang pengacara mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) Banda Aceh, menggugat Gubernur Aceh atas penerbitan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 522.51/DPMPTSP/1499/IPPKH/2017 tentang Pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Dalam Rangka Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I (443 MW) Seluas ± 4.407 Ha Atas Nama PT. KAMIRZU di Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tamiang, dan Kabupaten Aceh Timur Provinsi Aceh tanggal 09 Juni 2017. Dengan nomor gugatan 7/G/LH/2019/PTUN.BNA, tanggal 11 Maret 2019. Secara umum ada 11 (sebelas) alasan gugatan, yaitu:

  1. Gubernur Melampaui Kewenangan

    Sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, Kewenangan pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) diberikan kepada Menteri, dan menteri berdasarkan kewenangannya melimpahkan sebahagian kewenangannya kepada Gubernur, namun sifatnya terbatas (limited authority) yaitu hanya bagi pembangunan fasilitas umum non komersial dan luasan kewenangan Gubernur juga dibatasi dengan luas paling banyak 5 (lima) hektar, sehingga apabila dihubungkan dengan IPPKH yang telah diberikan kepada PT. KAMIRZU, telah jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  1. Kewajiban Hukum PT. Kamirzu

     Dalam diktum ke lima IPPKH yang telah diberikan disebutkan “Dalam jangka waktu palling lama 1 (satu) tahun setelah terbit Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan ini, PT. Kamirzu wajib; Menyelesaikan tata batas areal IPPKH disupervisi oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XVIII Banda Aceh dan tidak dapat diperpanjang, serta Menyelesaikan relokasi Desa Lesten. Fakta dilapangan, kewajiban hukum untuk menyelesaikan tata batas areal izin pinjam pakai kawasan hutan yang disupervisi oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XVIII Banda Aceh, dan relokasi Desa Lesten di Kabupaten Gayo Lues, belum dipenuhi atau dilaksanakan oleh PT. KAMIRZU sampai dengan saat ini. Sesuai ketentuan peraturan perundang-udangan, dalam hal pemegang IPPKH tidak menyelesaikan pelaksanaan tata batas areal IPPKH dalam jangka waktu tertentu izin pinjam pakai kawasan hutan dinyatakan tidak berlaku.

  1. Cacat Yuridis dalam penerbitan beberapa keputusan dalam satu keputusan

     Dalam IPPKH yang telah diterbitkan disebutkan “Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan ini berlaku juga sebagai Izin Pemanfaatan Kayu, serta Izin Pemasukan dan Penggunaan Peralatan”. Seharusnya terdapat pemisahan antara Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan, Izin Pemanfaatan Kayu dan Izin Pemasukan dan Penggunaan Peralatan, dimana ketiga Izin tersebut berdiri secara sendiri-sendiri dan terpisah-pisah, yang peruntukkan dan pembentukkannya juga dilaksanakan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang mengatur secara khusus dan/atau tersendiri.

  1. Tidak adanya rekomendasi dari Bupati Aceh Timur

     Area IPPKH berada dalam tiga wilayah administrasi, yaitu Kabupaten Gayo Lues, Aceh Tamiang, dan Aceh Timur. Sehingga membutuhkan rekomendasi atau dukungan dari pemerintah kabupaten tersebut sebagai salah satu syarat administrasi dalam penerbitan IPPKH. Namun faktanya, tidak ditemukan adanya rekomendasi atau dukungan dari Bupati Aceh Timur.

  1. Tanggal Penerbitan IPPKH Tidak Rasional

     Surat Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh Nomor 522.12/2700-IV tanggal 09 Juni 2017 perihal Rekomendasi Permohonan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur-I. IPPKH yang diterbitkan juga dilakuakn pada hari dan tanggal yang sama yaitu tanggal 09 Juni 2017. Menjadi aneh kemudian, bagaimana cara dan sikap Gubernur Aceh saat itu dalam hal penerbitan IPPKH, kapan memeriksa kebenaran segala berkas-berkas persyaratan administratif yang disuguhkan kepadanya tersebut, dan kapan memeriksa persyaratan teknis di lapangan, sehingga kiranya dapat memberikan gambaran dengan serinci-rincinya permasalahan-permasalahan hukum yang akan terjadi.

  1. Area IPPKH berada dalam kawasan zona patahan aktif

     Beradasarkan Qanun Aceh No 19 Tahun 2013 tentang RTRW Aceh, area IPPKH berada dalam kawasan rawan gempa bumi, ditetapkan dengan ketentuan kawasan yang memiliki resiko tinggi jika terjadi gempa bumi dengan skala VII – XII MMI (Modified Mercally Intensity), dan terletak di zona patahan aktif. PLTA tampur – 1 memiliki luasan genangan mencapai 4.070 Ha dengan ketinggian Bendungan mencapai 193 meter. Beresiko tinggi untuk hancur atau jebol apabila penempatan kawasan tersebut benar-benar akan dilakukan. Sehingga tidak dapat diprediksi akibat yang akan terjadi apabila bendungan raksasa tersebut tetap akan dilaksanakan pembangunannya. Karena Skala VII-XII MMI, dilansir oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, merupakan intensitas gempa dalam katagori “Sangat Kuat” sampai dengan “Sangat Ekstrem”. Kabupaten Gayo Lues sendiri pada tanggal 29 Mei 2017, pukul 04.54 Wib juga pernah mengalami sejarah Gempa bermagnitudo 4,9 s/d 6 Skala Richter. Gempa yang terjadi di Kabupaten Gayo Lues, dan sekitarnya merupakan akibat sesar atau patahan Sumatera Segmen Tripa yang kembali bergerak, yang mana Segmen sesar tersebut memiliki riwayat Gempa bermagnito 6,0 dan maksimal diperkirakan mencapai skala magneto 7,7.

  1. Berada dalam Kawasan Hutan

     Cukup luas kawasan hutan yang akan digunakan untuk pembangunan PLTA Tampur - 1, dimana pada proses pembangunnya sangat berpotensial tinggi untuk merusak hutan dan lingkungan hidup. Dimana hutan yang merupakan penyangga kehidupan akan dirusak dengan cara dibabat habis setiap pohon-pohon yang berdiri menjulang demi membersihkan areal, dan lingkungan juga akan tercemar akibat peralatan yang digunakan untuk membangun bendungan raksasa tesebut.

  1. Ancaman terhadap Satwa

      Pembangunan PLTA Tampur – 1 akan berdampak terhadap hilangnya habitat satwa-satwa yang dilindungi di areal kegiatan izin. Selain itu, potensi konflik antara binatang buas dan masyarakat setempat dikarenakan hilangnya koridor satwa dan habitatnya sehingga binatang-binatang buas tersebut akan turun ke Pemukiman untuk mencari tempat baru dan makanan. Pembangunan PLTA Tampur-I yang berada di kawasan hutan akan berdampak terhadap bencana alam, seperti lonsor dan banjir. Potensi bencana ini tidak hanya di Gayo Lues, juga berada di Aceh Timur dan Aceh Tamiang.

  1. Ancaman terhadap sumber air

      Akibat akan dialiri seluruh sumber-sumber air untuk memenuhi bendungan raksasa tersebut, dimana untuk dapat memenuhi bendungan diperlukan ± 1 (satu) tahun, sehingga selama itu pula manusia dan seluruh makhluk hidup yang berada di areal lokasi akan kehilangan sumber airnya, sehingga potensial dampak yang akan terjadi seperti kekeringan yang berakibat kekurangan air untuk konsumsi maupun mengaliri areal pertanian dan perkebunan warga setempat dan bahkan kematian bagi manusia maupun makhluk Hidup lainnya tidak dapat dihindari.

  1. IPPKH berada di KEL

      Areal yang akan dipergunakan sebagai areal pembangunan PLTA Tampur-I jelas-jelas masuk di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), dimana KEL sendiri berdasarkan peruntukkan dan fungsinya sendiri menjadi patron inti dalam wilayah kehutanan, artinya KEL itu merupakan kesatuan kawasan hutan yang memiliki Nilai Konservasi Tinggi (NKT) atau High Value Forest (HVF) yang oleh Dunia telah ditetapkan sebagai satu kesatuan kawasan yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan dunia dari efek perubahan iklim secara global. Terlebih lagi berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), menentukan Pemerintah menugaskan Pemerintah Aceh untuk melakukan pengelolaan kawasan ekosistem Leuser di wilayah Aceh dalam bentuk pelindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara lestari. Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota dilarang mengeluarkan izin pengusahaan hutan dalam kawasan ekosistem Leuser. UUPA sebagai hasil perundingan MoU Helsingki antar GAM dan RI sehingga lahirnya status Daerah Otonomi Khusus bagi Provinsi Aceh yang kemudian wajib diterapkan dan dilaksanakan materi muatan yang diatur di dalam ketentuan tersebut, sehingga menetapkan dan merusak KEL artinya merusak cita-cita perdamaian di Bumi Aceh.

  1. IPPKH bertentangan dengan azas perundang-undangan, yaitu azas kepastian hukum, dan azas larangan sewenang-wenang.

Banda Aceh, 12 Maret 2019 Eksekutif WALHI Aceh  

  1. Nasir

Kadiv Advokasi dan Kampanye Kuasa Hukum WALHI:

  1. Muhammad Reza Maulana, S.H.
  2. Kamaruddin, S.H.
  3. Ronal Siahaan, S.H., M.H.
  4. Boy Even Sembiring, S.H., M.H.
  5. Khalied Affandi, S.H.
  6. Jehalim Bangun, S.H.
  7. Nurul Ikhsan, S.H.
  8. Fahmi, S.H.
  9. Khairil, S.H.

Dokumen lebih lengkapnya bisa di unduh di link berikut ini : http://bit.ly/2HtAgtm  http://bit.ly/2UxaRT3