Siaran Pers
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Merespon rencana Japan Bank for International Cooperation (JBIC) dan Nippon Export Investment Insurance (NEXI) yang tengah mempertimbangkan untuk memberikan dukungan kepada proyek PLTP Muara Laboh Tahap 2 yang dikelola oleh PT Supreme Energy Muara Laboh (PT. SEML), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) telah menyampaikan petisi untuk mendesak JBIC dan NEXI menghentikan rencana tersebut karena pembangunan PLTP Muara Laboh Tahap 2 dapat mengakibatkan perluasan dampak negatif terhadap lingkungan dan komunitas serta melanggengkan pelanggaran hak asasi manusia.
Melalui laman websitenya JBIC dan NEXI menyampaikan bahwa mereka tengah mempertimbangkan untuk memberikan dukungan terhadap proyek PLTP Unit 2. Sebelumnya, JBIC dan NEXI telah memberikan dukungan finansial untuk Proyek PLTP Muara Laboh Tahap 1 sejak tahun 2017.
WALHI menilai bahwa PLTP Muara Laboh Tahap 1 sendiri telah melanggar Pedoman Lingkungan Hidup dan Sosial yang dipunyai oleh JBIC/NEXI, dan itu artinya, hingga saat ini, JBIC/NEXI sendiri telah gagal memastikan bahwa proyek PLTP Muara Laboh/PT SEML mematuhi Pedoman tersebut. Sehingga tidak ada alasan pembenar bagi JBIC/NEXI untuk melanjutkan dukungan mereka pada pengembangan PLTP Muara Laboh Tahap 2.
Dalam petisinya, WALHI menyampaikan empat alasan utama penolakan ini, yakni (1) PLTP Muara Laboh Tahap 1 dan 2 gagal mempertimbangkan proses pembebasan lahan yang dilakukan secara paksa dan diskriminatif yang terjadi pada proyek ini sebelumnya; (2) Pengembangan PLTP Muara Laboh Tahap 2 dapat memperparah dampak gagal panen yang dialami masyarakat di WKP Liki Pinangawan Muara Laboh akibat pencemaran dan berkurangnya pasokan air; (3) Pengembangan PLTP Muara Laboh Tahap 2 dapat memperparah ancaman gangguan kesehatan dan keselamatan masyarakat akibat konsentrasi gas di WKP Liki Pinangawan Muara Laboh; (4) Pengembangan PLTP Muara Laboh Tahap 2 dapat memperparah dampak banjir di WKP Liki Pinangawan Muara Laboh akibat perubahan bentang alam.
Lihat, PETISI.
Dalam penelitian yang telah dilakukan, WALHI menemukan bahwa proses pembebasan lahan untuk proyek PLTP Muara Laboh Unit 1 terdapat pengabaian hak warga dan juga intimidasi kepada para petani untuk melepas lahan-lahan yang mereka punya, terutama bagi petani yang sebelumnya mengelola lahan eks HGU PT Peconina Baru. Akibat hilangnya pendapatan utama yang sebelumnya dipenuhi dari mengelola sawah dan kebun mereka, masyarakat yang terpaksa pindah meninggalkan lahan tersebut, harus beralih mata pencaharian menjadi pedagang, kuli atau buruh tani, bahkan terpaksa terlibat dalam kegiatan pertambangan maupun logging.
PLTP Muara Laboh Tahap 1 juga telah menimbulkan dampak yang parah terhadap petani yang menggantungkan pertaniannya pada aliran sungai Bangko Janiah, Bangko Karuah, dan Liki. Pada tahun 2021, 2 tahun pasca PT SEML resmi berproduksi, sebagian besar petani di sekitaran PT SEML terutama di Jorong Kampung Baru Pekonina, Jorong Taratak Tinggi Pekonina, dan Jorong Sapan Sari Pekonina mengalami gagal panen padi karena air irigasi membawa material berat berwarna hitam, yang menyebabkan tanah sangat keras, sehingga selama setahun lamanya lahan pertanian tersebut tidak bisa diusahakan.
PLTP Muara Laboh Tahap 1 juga beresiko tinggi untuk meracuni lingkungan dan masyarakat baik jangka pendek maupun jangka panjang, karena aktivitas pertanian dan pemukiman masyarakat, utamanya di Jorong Taratak Tinggi Pekonina dan Jorong Kampung Baru Pekonina sekitaran PLTP Muara Laboh yang hanya berjarak 250-500 meter saja dari aktivitas penambangan panas bumi dan pembangkit listrik.
WALHI juga mencatat bahwa meskipun hasil perhitungan Tingkat Bahaya Erosi (TBE) dari AMDAL PLTP Muara Laboh menunjukkan bahwa wilayah proyek tersebut merupakan daerah yang memiliki TBE sedang hingga sangat tinggi, namun pada wilayah tersebut justru terus melakukan pembukaan lahan dan perubahan bentang lahan untuk tapak pembangunan proyek. Akibatnya, dampak-dampak penurunan daya dukung lingkungan tersebut langsung dirasakan masyarakat di sekitar tapak PLTP Muara laboh, sehingga menjadikan mereka lebih rentan terhadap kegagalan panen karena banjir dan kekeringan, ataupun kerusakan rumah, lahan, dan fasum akibat banjir dan banjir bandang.
Bagi WALHI, upaya mencapai transisi yang cepat, adil, dan merata dari bahan bakar fosil ke sistem energi terbarukan, tidak boleh jatuh kepada bentuk solusi palsu. Peran JBIC dan NEXI dalam memberi dukungan terhadap proyek-proyek besar dari korporasi besar yang justru menyebabkan kerusakan lingkungan, merugikan masyarakat lokal dan melanggar hak-hak masyarakat, sebagaimana yang telah terjadi di PLTP Muara Laboh ini, dan ditambah dengan pendanaan yang berasal dari dana utang yang akan menambah beban masyarakat yang saat ini telah mengalami berbagai krisis, termasuk krisis iklim, bukanlah bagian dari transisi energi yang diharapkan.
Kontak:
Fanny Tri Jambore (Kepala Divisi Kampanye WALHI) – 083857642883