Siaran Pers
Medan, 21 Juli 2020
Pada tanggal 16 Juli 2020 Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengajukan permohonan Peninjuan Kembali(PK) dan memori peninjauan kembali terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 545 K/TUN/LH/2019 Tanggal 29 Oktober 2019 telah didaftarkan di Pengadilan Tata Usaha Negara Medan. Pemohon Peninjauan Kembali (PK) terdapat penyimpangan penerbitan objek sengketa yaitu putusan A-Qua diambil berdasarkan kebohongan belaka. Temuan WALHI pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 545 K/TUN/LH/2019 sebagai pihak Pemohon Peninjauan Kembali adalah sebagai berikut :
- Putusan A-QUO diambil berdasarkan kebohongan belaka.
- Majelis Hakim Judex Juris pada Putusan Nomor: 545 K/TUN/LH/2019 telah melakukan kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata sehingga mengambil kesimpulan: Tidak ada kewajiban mengumumkan permohonan perubahan izin lingkungan dan melakukan sosialisasi/konsultasi pada Addendum Amdal.
- Majelis Hakim Judex Juris telah melakukan kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang dengan tidak melihat peraturan-peraturan tersebut secara utuh dan melihat peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan objek sengketa.
- Majelis Hakim Judex Juris telah melakukan kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata karena tidak memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh Peraturan Perundang-Undangan dalam hal hukum pembuktian yang seharusnya diterapkan dalam pemeriksaan untuk dapat memenuhi kebenaran formil.
Dasar permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang disampaikan oleh WALHI sebagai berikut. Bahwa alasan-alasan yang dapat dipakai dalam mengajukan PK, diatur di dalam Pasal 67 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan UU No. 3 Tahun 2009, yakni :
Pasal 67 yang menyebutkan sebagai berikut:
“Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
a. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e. apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
f. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.”
Bahwa alasan-alasan Peninjauan Kembali dalam Pasal 67 UU No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud di atas tidak bersifat kumulatif. Artinya terpenuhinya salah satu alasan dari alasan-alasan peninjauan kembali tersebut telah memenuhi syarat untuk mengajukan Peninjauan Kembali.
Bahwa permohonan Peninjauan Kembali ini diajukan sesuai dengan ketentuan Pasal 67 huruf f UU No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung yang menyatakan:
“apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
“apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.”
Bahwa keberatan dari Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Para Pemohon Peninjauan Kembali atas putusan Kasasi dikarenakan tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya dan terdapat kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata dalam penerapan pasal 2 huruf e UU PTUN;
Peninjauan Kembali (PK):
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 545 K/TUN/LH/2019, Tanggal 29 Oktober 2019 berdasarkan kebohongan dimuka persidangan. Argumen WALHI, surat yang menjelaskan apabila nama dan tanda tangan penyusunan addendum Amdal PLTA Batang Toru Kapasitas 510 MW (4x127,5 MW) atas nama ONRIZAL, S.Hut, M.Si. Ph.D bahwa dokumen Addendum Amdal PLTA Batang Toru kapasitas 510 MW (4x127,5 MW) tidak pernah ditandatangani oleh Onrizal, S.Hut, M.Si. Ph.D dan tanda tangan dalam Addendum bukan tanda tangan Onrizal, S.Hut, M.Si. Ph.D dan tanda tangan tersebut terbukti ditiru/dipalsukan. Bahwa adanya surat yang menjelaskan dari salah satu anggota dari tim penyusun Amdal yang menyatakan pemalsuan akan tanda tangan sehingga sudah jelas kalau isi dalam Addendum Amdal adalah rekayasa, oleh karena pengakuan dari salah seorang anggota tim. Sehingga patut juga dipertanyakan akan semua keterangan dari anggota tim lainnya termasuk para ahli yang terlibat dalam penyusunan Amdal dan dokumen lainnya.
Bahwa dengan alasan tersebut, maka Putusan Majelis Hakim Judex Juris Perkara Nomor: 545 K/TUN/LH/2019, TANGGAL 29 Oktober 2019 Jo. PUTUSAN PT.TUN MEDAN Nomor: 129/B/LH/2019/PT.TUN-MDN Tanggal 13 JUNI 2019 Jo. PTUN MEDAN Nomor : 110/G/LH/2018/PTUN-MDN, Tanggal 4 MARET 2019 diputuskan berdasarkan kebohongan.
Narhubung:
Roy, Manager Advokasi Walhi Sumut (0822-76956-8624)
Ronald Sihaan, Kuasa Hukum Walhi Nasional (0877-7560-7994)