WALHI Sumatera Utara menilai mega-proyek PLTA Batang Toru merugikan negara, masyarakat dan lingkungan hidup

20 September 2018 Mega-proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru 510 MW yang direncanakan PT North Sumatra Hydro Energy (PT NSHE) dengan investasi sebesar 1,67 milyar dollar AS, akan dioperasikan sebagai ‘peaker’ yaitu hanya menyuplai listrik dengan kapasitas maksimalnya selama 6 jam saat kebutuhan listrik tinggi. Saat operasi, bendungan setinggi 72,5 m akan menghasilkan genangan yang tidak luas sekali (<90 ha) sedangkan air yang ditampung dialihkan melalui terowongan bawah tanah sepanjang 13 km ke turbin yang akan menghasilkan listrik. Karena menggunakan sumber energi terbarukan (aliran air), genangan yang tidak terlalu luas, dan terowongan air bawah tanah, mega-proyek ini dijagokan sebagai proyek ramah lingkungan dan menguntungkan. Tetapi WALHI Sumatera Utara menantangnya dan menilai ada empat alasan untuk menolak mega-proyek ini. Alasan Pertama: Ternyata Proyek Mengancam Orangutan Tapanuli dan habitatnya Walaupun terowongan pengalih air di bawah permukaan, untuk membangun terowongan harus dibangun jalan akses di medan yang berat dan rawan erosi. Sekitar 20 km jalan akses tersebut akan dibangun di dalam habitat Orangutan Tapanuli, kera besar yang paling langka di dunia dan yang hanya terdapat di Tapanuli. Jalan dibangun guna mengakses terowongan sekunder guna membangun terowongan utama dan mengangkut limbah ledakan di dalam terowongan yang akan dibuang ke hutan. Selain itu direncanakan pembuatan jalur transmisi listrik sepanjang 13,8 km di dalam habitat orangutan, yang akan membelah habitatnya menjadi dua. “Bayangkan selama pembangunan proyek akan ada lalu lintas alat berat sepanjang 20 km di dalam habitat orangutan Tapanuli yang sangat langkah dan terancam punah. Orangutan ini pemalu dan menghindari kontak dengan manusia. Jadi wilayah ini yang saat ini memiliki kepadatan orangutan paling tinggi tidak akan lagi digunakan lagi orangutan” ujar Bapak Kusnadi Oldani, ketua FOKUS (Forum Konservasi Orangutan Sumatera). Terusnya: “Belum lagi ancaman pemburuan karena kalau PLTA sudah beroperasi, sungai Batang Toru sepanjang lebih dari 14 km akan menjadi hampir kering, sehingga siapapun dapat nyebranginya dan mengakses habitat orangutan”. Alasan PertamaKedua: Ternyata Proyek Mengancam Kehidupan Masyarakat Hilir Sungai Akan ada dampak ke masyarakat hilir saatpembangunan infrastruktur PLTA Batang Toruterutama peningkatan sedimentasi di sungai dar limbah penggalian terowongan. Tetapi dampak yang lebih merugikan akan dirasakan setelahPLTA mulai beroperasi karena dari awal PLTA didesain sebagai ‘peaker’ yaitu akan menyuplai listrik pada saat kebutuhan sedang tinggi. Dari data yang ada di dokumen ANDAL PLTA Batang Toru 2014 dan Adendum ANDAL 2016 1 dijelaskan bahwa volume aliran atau debit sungai normal’ atau rata-rata adalah sebesar 106 m 3 /detik sedangkan ‘aliran pasti’ (firm debit) adalah 52,6 m 3 /detik: berarti 95% dari pada waktu debit Sungai Batang Toru akan 52,6 m 3 /detik atau di atasnya. Dapat diperkirakan bahwa potensi tenaga yang dapat dihasilkan dari volume aliran sungai ‘normal’ sebesar 106 m 3 /detik adalah sekitar 230 MW (menggunakan formula standar 2 ). Sedangkan kapasitas pembangkit PLTA yang akan diinstalasikan adalah 4 x 127,5 MW turbin yang menjadi total 510 MW. Untuk menghidupkan keempat turbin serentak akan membutuhkan aliran air 228 m 3 /detik. Bagaimana dari sungai yang mempunyai potensi rata-rata 230 MW bisa dihasilkan 510 MW? Caranya adalah dengan membendung air selama 17 - 18 jam, kemudian melepaskan air selama 6 -7 jam melalui 4 turbin. Alasan Kedua: Risiko Bencana Dahsyat Akibat Gempa Lokasi pembangunan PLTA Batang Toru sangat berdekatan dengan sesar besar Sumatera (the Great Sumatra Fault) yang sangat terkenal sebagai pusat gempa bumi. Data gempa bumi historis menunjukkan 60 gempa berkuatan 3,5 ke atas dalam radius 25 km dari bendungan, dan pada tahun 2008 terjadi gempa berkekuatan 6.0 hanya 4,1 kilometer dari lokasi rencana pembuatan bendungan. Semakin banyak bukti bahwa wadukpun dapat memicu gempa. Peristiwa ini dinamakan Reservoir-Induced Seismicity atau RIS. Apabila bendungan jebol akibat gempa akan terjadi bencana yang sangat merugikan baik dari segi jiwa manusia maupun material. Alasan Ketiga: Ancaman Kerugian Negara Terhitung dari biaya investasi untuk setiap KW yang terinstalasi, Proyek Batang Toru adalah proyek yang mahal dengan angka AS$3.275/KW. Dan kapasitas maksimal 510 MW hanya dapat dihasilkan selama 6 jam per hari (25%). Dibandingkan dengan proyek PLTA yang lain, PLTA Batang Toru termasuk yang mahal. Proyek ini pernah diminati IFC (bagian dari kelompok Bank Dunia) yang ingin menginvestasi ke energi hijau. Namun sejak kajian lingkungan hidup dan sosial dilakukan pada tahun 2015, IFC memundurkan diri dan sekarang proyek dibangun dengan pinjaman bank asing, di mana Bank of China mempunyai peran kunci. Kontrak pembangunan PLTA diberikan kepada Sinohydro, sebuah BUMN RRC. Berdasarkan dokumen profil PT PJB, salah satu anak perusahaan PLN, yang juga memegang saham di PT NSHE, harga jual listrik adalah sekitar AS$0,128574/kwh Ini jauh di atas harga pembelian listrik pembangkit lain (lihat http://sumatra.bisnis.com/read/20180831/451/833415/investasi-pembangkit-listrik-14-perusahaan-antre-proyek-energi-terbarukan). Alasan Ke Empat: Ternyata Proyek Mengancam Orangutan Tapanuli dan habitatnya Walaupun terowongan pengalih air di bawah permukaan, untuk membangun terowongan harus dibangun jalan akses di medan yang berat dan rawan erosi. Sekitar 20 km jalan akses tersebut akan dibangun di dalam habitat Orangutan Tapanuli, kera besar yang paling langka di dunia dan yang hanya terdapat di Tapanuli. Jalan dibangun guna mengakses terowongan sekunder guna membangun terowongan utama dan mengangkut limbah ledakan di dalam terowongan yang akan dibuang ke hutan. Selain itu direncanakan pembuatan jalur transmisi listrik sepanjang 13,8 km di dalam habitat orangutan, yang akan membelah habitatnya menjadi dua. “Bayangkan selama pembangunan proyek akan ada lalu lintas alat berat sepanjang 20 km di dalam habitat orangutan Tapanuli yang sangat langka dan terancam punah. Orangutan ini pemalu dan menghindari kontak dengan manusia. Jadi wilayah ini yang saat ini memiliki kepadatan orangutan paling tinggi tidak akan lagi digunakan lagi orangutan” ujar Bapak Kusnadi Oldani, ketua FOKUS (Forum Konservasi Orangutan Sumatera). Terusnya: “Belum lagi ancaman pemburuan karena kalau PLTA sudah beroperasi, sungai Batang Toru sepanjang lebih dari 14 km akan menjadi hampir kering, sehingga siapapun dapat nyebranginya dan mengakses habitat orangutan”. Dana Tarigan, Direktur WALHI Sumatera Utara menjadi sangat resah: “Ini investasi besar dengan berhutang ke luar negeri. Kontrak pembangunannya dipegang perusahaan asing. Sedangkan PLN berjanji membeli listriknya dengan tarif mahal. Apabila saat beroperasi, listrik tidak dibutuhkan, PLN akan rugi, berarti negara rugi. Saya tidak ingin mendengar lagi ucapan normatif bahwa ini proyek proyek strategis nasional yang sangat dibutuhkan, tetapi ingin mendengar jawaban terhadap pertanyaan serius tentang ancaman terhadap lingkungan dan masyarakat hilir, risiko bencana dan risiko kerugian negara” ujarnya. Narahubung : Dana Prima Tarigan : 08126344992 Golfrid Siregar : 085264545207 Yuyun Harmono pengkampanye perubahan iklim dan keuangan esekutif nasional WALHI: +62 813-8507-2648