slot terbaikcapcut88pastigacor88slot thailandslot pulsaslot pulsaslot gacor hari inislot pulsaslot danaslot gacor hari inislot gacor terbaikslot gacor maxwinslot gacor 2024slot gacor resmislot pulsaslot gacor 2024slot gacor hari inislot gacor terbaikslot pulsaslot gacor terbaikslot gacor hari inislot danaslot gacor terpercaya
WKR Merebut Tapak, Meraih Dukungan Publik | WALHI

WKR Merebut Tapak, Meraih Dukungan Publik

Wilayah Kelola Rakyat Merebut Tapak, Meraih Dukungan Publik

Azmi Sirajuddin
(Anggota Dewan Nasional WALHI priode 2016-2020 dan bekerja di YAYASAN MERAH PUTIH (YMP) Palu, Sulawesi Tengah)

Latar Belakang
Makalah ini bertujuan untuk menjadi pelecut diskusi di kalangan aktivis WALHI terkait advokasi wilayah kelola rakyat (WKR). Berangkat dari niatan untuk membuka ruang diskusi yang lebih progresif di internal WALHI, sehingga kita dapat mendudukan wacana tentang WKR tidak sebatas “perbincangan sesaat”, namun melangkah lebih maju ke “pemaknaan substsansi”, sehingga ia benar-benar ditempatkan sebagai “gagasan strategis” WALHI yang asli.

Mandat PNLH XII WALHI di Palembang tahun 2016 yang memunculkan spirit “Mempertegas Komitmen, Memperkuat Dukungan, Menuju Pengakuan Negara Atas Wilayah Kelola Rakyat”, haruslah dibaca sebagai konsep peta jalan yang akan ditempuh oleh WALHI dalam mewujudkan mimpi-mimpi tersebut. Tentu saja konsepsi peta jalan yang baik terhadap satu isu atau tematik advokasi memerlukan bermacam prasyarat. Salah satunya ialah ide dasar dari kerangka pikir suatu isu.

Oleh sebab itu, WALHI sudah waktunya meletakkan dasar-dasar idenya sebagai kerangka pikir WKR. Kehadiran artikel ini bertujuan membantu mempertajam kerangka pikir yang dimaksudkan. Agar WKR yang diusung WALHI memiliki basis dialektika-historis dan basis dialektika-materilnya.

Mendefinisikan WKR Secara Tepat
Mengapa WALHI sampai pada pilihan wilayah kelola rakyat (WKR) sebagai langkah strategis? Tentu banyak cerita di balik pilihan yang sangat brilian ini. Akan lebih baik jika aktivis dan penggiat WALHI mencoba duduk bersama mendefinisikan titik temu terkait makna WKR yang sesungguhnya. Sehingga muncul “common platform” dalam memaknai WKR.

Salah satu definisi yang mungkin secara sederhana dapat menggambarkan WKR ialah: “kesatuan ruang hidup yang dikuasai dan dikelola langsung oleh rakyat dengan corak produksinya yang beragam, dikelola sesuai dengan kearifan lokal, diselaraskan dengan potensi sumber daya alamnya serta daya dukung lingkungannya”.  Pemaknaan sederhana ini sejalan dengan pengakuan dari pemerintah melalui Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan pada dialog nasional tentang Wilayah Kelola Rakyat, yang dilaksanakan oleh WALHI dan beberapa CSO nasional dan Pemprov NTB, pada bulan April tahun 2015 di Mataram (lihat link berita: http://www.menlh.go.id/pengakuan-wilayah-adat-dan-wilayah-kelola- rakyat/).

Dari pemaknaan sederhana tersebut, kita menemukan sejumlah indikator yang relevan dan terkait: a) ruang hidup; b) dikuasai dan dikelola langsung; c) dari, oleh dan untuk rakyat; d) corak produksi beragam; e) pengelolaan berbasis kearifan lokal; f) berbasis potensi lokal serta daya dukung lingkungan. Indikator-indikator tersebut sekaligus sebagai kondisi pemungkin (enabling conditions) yang mesti ada untuk memperjuangkan wilayah kelola rakyat (WKR) di dalam gerak advokasi lingkungan dan sumber daya alam WALHI.

Mari kita membedah secara singkat masing-masing terpenuhinya indikator tersebut, sehingga ia dapat menjadi kondisi pemungkin untuk menggerakan advokasi WKR ke depan:

  1. Ruang hidup: dari banyak pengalaman dan pembelajaran praksis yang dijumpai (best practise) di wilayah-wilayah dampingan WALHI dan anggotanya, umumnya ruang hidup masyarakat setempat juga merupakan ruang produksi sekaligus. Misalnya, masyarakat adat Tau Taa Wana di Kabupaten Morowali Utara, Tojo Una- Una dan Banggai di Sulawesi Tengah, yang didampingi oleh anggota WALHI Yayasan Merah Putih (YMP), memaknai ruang hidup sebagai “Tana nTau Tua Mami” – tanah tumpah darah yang integral. “Tana nTau Tua Mami” sebagai tanah tumpah darah, meliputi ruang bermukim, ruang produksi dan ruang interaksi sosial (lihat: http://www.ymp.or.id/ekonomi-politik-dan-kedaulatan-tanah-leluhur-tau-taa-wana/).
  2. Dikuasai dan dikelola langsung: wilayah kelola rakyat menyangkut tata kuasa dan tata kelola. Antara tata kuasa dan tata kelola tidak dapat dipisahkan, sebab menyangkut strategi penguasaan dan pengelolaan tanah oleh rakyat. WALHI memprioritaskan agar advokasi WKR ke depan tidak hanya memastikan akses pengelolaan sebesar-besarnya kepada rakyat, tapi juga memastikan hak kuasa atas...

Untuk dokumen selengkapnya, dapat unduh DISINI.